Judul
: Seperti Dendam. Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang
: Eka Kurniawan
Tahun
Terbit : 2014
Penerbit
: Gramedia
Ini
buku kedua dari Eka Kurniawan yang selesai saya baca bulan November kemarin.
Setelah sebelumnya menyelesaikan membaca buku Eka yang lain Lelaki Harimau pada
bulan yang sama. Saya membaca buku ini lebih cepat dari membaca Lelaki Harimau,
tidak lebih dari tiga hari meski dengan halaman yang lebih banyak. Narasi dan
kalimat dalam Seperti Dendam... juga lebih singkat-singkat dan ringan atau
remeh temeh saja. Tapi itulah kekuatan Eka, membuat basa-basi yang biasa saja
menjadi sebuah lakon yang terlalu sulit untuk tidak diperbincangkan.
Ide
keseluruhan buku ini juga terkesan sangat sederhana jika tidak dikatakan remeh
pula. Burung yang tidak bisa berdiri. Burung yang tidak berdiri yang lantas
menggiring pada kejadian-kejadian setelahnya. Khas yang dilakukan seperti
sebelumnya dalam Lelaki Harimau, alur cerita yang berhamburan dan berantakan,
namun kita masih bisa dengan lancar mengikutinya, tanpa harus mengernyitkan
dahi dan mengulang membaca. Dalam Seperti Dendam alur maju mundur yang di solek
dengan cerdas, rasanya semua mengalir begitu lancar dalam imajinasi, setidaknya
itu yang saya rasakan.
Pada
suatu malam masalah bermula. Dua orang polisi menyetubuhi seorang perempuan
gila, Rona Merah, Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip melalui jendela. Si polisi
mengetahui dua bocah itu, Si Tokek berhasil kabur, tapi nahas bagi Ajo Kawir,
ia digelandang masuk ke rumah Rona Merah oleh polisi itu. Tak sampai disitu Ajo
Kawir dipaksa si polisi menyetubuhi Rona Merah juga, semenjak malam itulah
burung Ajo Kawir tak bisa ngaceng, setelah
menyaksikan selakangan Rona Merah. Entah karena jijik, gugup atau apa. Setelah
burung Ajo Kawir tak bisa lagi berdiri bersama kawannya Si Tokek, Ajo Kawir
melakukan segala cara untuk membangunkan si burung, sampai-sampai Iwan Angsa
ayah Si Tokek ikut turun tangan membantu Ajo Kawir. Kadang dengan sesuatu yang
ekstrim seperti mengoleskan cabai rawit, menyengatkan lebah karena teringat
dengan pengobatan dengan metode sengat lebah, dan menyewa pelacur dekat rel
kereta. Tentu saja semua itu sia-sia, burung Ajo Kawir terlanjur terlelap dalam
tidur. “Tidak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa
berdiri.” Kata pelacur yang putus asa itu.
Hancur
sudah semua masa mudanya tanpa burung yang tak bisa berdiri, masa muda tanpa
libido. Masa muda yang kata orang indah itu, menjadi mimpi buruknya. Hal ini
membuat Ajo Kawir mengalihkan hari-hari masa mudanya dengan berkelahi. Menantang
siapapun. Berbekal nyali, karena kemampuan berkelahinya juga tak bagus-bagus
amat. Kadang dengan sengaja mencari gara-gara dengan orang-orang. Hanya untuk
pulang babak belur, demikian itu terulang lagi dan lagi.
Suatu
kali Ajo Kawir menemukan lawan berduel yang seimbang, seorang perempuan yang
sebelumnya diremehkannya, namanya Iteung. Bertarung berjam-jam lalu keduanya
terkapar bersama di rerumputan dekat kebun pak Lebe. Tak disangka cinta datang
pada saat itu pula, saat keduanya terkapar dan saling pandang satu sama lain. Singkatnya
mereka kemudian menikah, dengan burung Ajo Kawir yang tetap dalam dengkuran.
Hal yang tak disangka-sangka datang, Iteung hamil entah benih siapa. Mana
mungkin burung Ajo Kawir yang tak bisa bangun bisa memberinya benih. Ajo Kawir jelas
geram, lalu pergi menjadi supir truk di Jakarta sambil mencari ketenangannya.
Burung
yang tidur justru mengajari Ajo Kawir mengenai kebijaksanaan, “Kehidupan
manusia hanyalah impian kemaluan kita. Manusia menjalaninya saja.” Kata Ajo
Kawir sekali waktu. Lebih dari itu dalam sunyi dialognya dengan si burung
membuat ia memutuskan berhenti berkelahi. Serupa taubatan nasuha seorang
pendosa, bahkan ketika keneknya Mono Ompong hampir mati berduel dengan Si
Kumbang, Ajo Kawir tetap tenang dengan pandangannya.
Ditengah
perjalanan yang melelahkan menjadi supir truk itu, Ajo Kawir bertemu dengan
perempuan bernama Jelita. Merupakan ironi Jelita yang sebenarnya adalah buruk
wajahnya tak sesuai namanya. Jelita datang serupa penyelamat yang datang
terlambat, setelah Ajo Kawir menerima semua keadaannya. Karena akhirnya Jelita
lah yang mampu membangunkan si burung yang tidur. Memberi Ajo Kawir kenikmatan
bercinta untuk pertama kalinya dan lenyap begitu saja setelah burung Ajo Kawir bangun.
Kesamaan
dengan buku Eka yang saya baca sebelumnya ialah tokoh Ajo Kawir dan Margio
selalu menegak bir ketika ada masalah. Kata Ajo Kawir “Bir merupakan sahabat
bagi semua lelaki sedih.” Dan keduanya memang lelaki pesakitan. Terasing dalam
dunianya sendiri. Persamaan lain tentunya alur yang bergerak dengan sangat licin.
Eka
menyisipkan humor-humor abu-abu pada buku ini, juga pada Lelaki Harimau.
Terkesan sangat elegan. Memang sedikit terlambat saya mengenal karya-karya Eka,
saya mengenal belum lama ini, beberapa bulan lalu ketika membaca sebuah review
aduhai mengenai buku Lelaki Harimau pada sebuah blog personal. Beberapa waktu
setelah merasa cukup uang untuk menebus buku, saya menebusnya. Pertama Lelaki
Harimau, tidak mengecewakan, sebarang 15 hari saya membeli Seperti Dendam yang
sejatinya telah terbit bulan mei lalu.