Selasa, 02 Desember 2014

Bukan Stensilan Murahan



Judul : Seperti Dendam. Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2014
Penerbit : Gramedia

Ini buku kedua dari Eka Kurniawan yang selesai saya baca bulan November kemarin. Setelah sebelumnya menyelesaikan membaca buku Eka yang lain Lelaki Harimau pada bulan yang sama. Saya membaca buku ini lebih cepat dari membaca Lelaki Harimau, tidak lebih dari tiga hari meski dengan halaman yang lebih banyak. Narasi dan kalimat dalam Seperti Dendam... juga lebih singkat-singkat dan ringan atau remeh temeh saja. Tapi itulah kekuatan Eka, membuat basa-basi yang biasa saja menjadi sebuah lakon yang terlalu sulit untuk tidak diperbincangkan. 

Ide keseluruhan buku ini juga terkesan sangat sederhana jika tidak dikatakan remeh pula. Burung yang tidak bisa berdiri. Burung yang tidak berdiri yang lantas menggiring pada kejadian-kejadian setelahnya. Khas yang dilakukan seperti sebelumnya dalam Lelaki Harimau, alur cerita yang berhamburan dan berantakan, namun kita masih bisa dengan lancar mengikutinya, tanpa harus mengernyitkan dahi dan mengulang membaca. Dalam Seperti Dendam alur maju mundur yang di solek dengan cerdas, rasanya semua mengalir begitu lancar dalam imajinasi, setidaknya itu yang saya rasakan.

Pada suatu malam masalah bermula. Dua orang polisi menyetubuhi seorang perempuan gila, Rona Merah, Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip melalui jendela. Si polisi mengetahui dua bocah itu, Si Tokek berhasil kabur, tapi nahas bagi Ajo Kawir, ia digelandang masuk ke rumah Rona Merah oleh polisi itu. Tak sampai disitu Ajo Kawir dipaksa si polisi menyetubuhi Rona Merah juga, semenjak malam itulah burung Ajo Kawir tak bisa ngaceng, setelah menyaksikan selakangan Rona Merah. Entah karena jijik, gugup atau apa. Setelah burung Ajo Kawir tak bisa lagi berdiri bersama kawannya Si Tokek, Ajo Kawir melakukan segala cara untuk membangunkan si burung, sampai-sampai Iwan Angsa ayah Si Tokek ikut turun tangan membantu Ajo Kawir. Kadang dengan sesuatu yang ekstrim seperti mengoleskan cabai rawit, menyengatkan lebah karena teringat dengan pengobatan dengan metode sengat lebah, dan menyewa pelacur dekat rel kereta. Tentu saja semua itu sia-sia, burung Ajo Kawir terlanjur terlelap dalam tidur. “Tidak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri.” Kata pelacur yang putus asa itu.

Hancur sudah semua masa mudanya tanpa burung yang tak bisa berdiri, masa muda tanpa libido. Masa muda yang kata orang indah itu, menjadi mimpi buruknya. Hal ini membuat Ajo Kawir mengalihkan hari-hari masa mudanya dengan berkelahi. Menantang siapapun. Berbekal nyali, karena kemampuan berkelahinya juga tak bagus-bagus amat. Kadang dengan sengaja mencari gara-gara dengan orang-orang. Hanya untuk pulang babak belur, demikian itu terulang lagi dan lagi.

Suatu kali Ajo Kawir menemukan lawan berduel yang seimbang, seorang perempuan yang sebelumnya diremehkannya, namanya Iteung. Bertarung berjam-jam lalu keduanya terkapar bersama di rerumputan dekat kebun pak Lebe. Tak disangka cinta datang pada saat itu pula, saat keduanya terkapar dan saling pandang satu sama lain. Singkatnya mereka kemudian menikah, dengan burung Ajo Kawir yang tetap dalam dengkuran. Hal yang tak disangka-sangka datang, Iteung hamil entah benih siapa. Mana mungkin burung Ajo Kawir yang tak bisa bangun bisa memberinya benih. Ajo Kawir jelas geram, lalu pergi menjadi supir truk di Jakarta sambil mencari ketenangannya. 

Burung yang tidur justru mengajari Ajo Kawir mengenai kebijaksanaan, “Kehidupan manusia hanyalah impian kemaluan kita. Manusia menjalaninya saja.” Kata Ajo Kawir sekali waktu. Lebih dari itu dalam sunyi dialognya dengan si burung membuat ia memutuskan berhenti berkelahi. Serupa taubatan nasuha seorang pendosa, bahkan ketika keneknya Mono Ompong hampir mati berduel dengan Si Kumbang, Ajo Kawir tetap tenang dengan pandangannya.

Ditengah perjalanan yang melelahkan menjadi supir truk itu, Ajo Kawir bertemu dengan perempuan bernama Jelita. Merupakan ironi Jelita yang sebenarnya adalah buruk wajahnya tak sesuai namanya. Jelita datang serupa penyelamat yang datang terlambat, setelah Ajo Kawir menerima semua keadaannya. Karena akhirnya Jelita lah yang mampu membangunkan si burung yang tidur. Memberi Ajo Kawir kenikmatan bercinta untuk pertama kalinya dan lenyap begitu saja setelah burung Ajo Kawir bangun.

Kesamaan dengan buku Eka yang saya baca sebelumnya ialah tokoh Ajo Kawir dan Margio selalu menegak bir ketika ada masalah. Kata Ajo Kawir “Bir merupakan sahabat bagi semua lelaki sedih.” Dan keduanya memang lelaki pesakitan. Terasing dalam dunianya sendiri. Persamaan lain tentunya alur yang bergerak dengan sangat licin.

Eka menyisipkan humor-humor abu-abu pada buku ini, juga pada Lelaki Harimau. Terkesan sangat elegan. Memang sedikit terlambat saya mengenal karya-karya Eka, saya mengenal belum lama ini, beberapa bulan lalu ketika membaca sebuah review aduhai mengenai buku Lelaki Harimau pada sebuah blog personal. Beberapa waktu setelah merasa cukup uang untuk menebus buku, saya menebusnya. Pertama Lelaki Harimau, tidak mengecewakan, sebarang 15 hari saya membeli Seperti Dendam yang sejatinya telah terbit bulan mei lalu.

Rabu, 10 September 2014

Pentagon

Aku ingin menyelipkan duka dengan kata-kata
Pada setiap gelintir timbunan dendam dan perang
Sebelas september tahun dua ribu satu
Ketika dunia mendadak menjadi silu
Mendadak masam, dan langit kusut muka

Ah, aku tidak sedang berduka padamu Amerika
Aku bersungkawa karena kemanusiaan begitu murah
Sehingga suatu ketika orang-orang menemukan sebuah katarsis
Pada lembaran 20 dolar

Adakah konspirasi adalah sebuah keniscayaan?
Adakah keniscayaan ini berasal dari konspirasi?

Minggu, 06 Juli 2014

Pariwara Capres

Ada satu pernyataan dalam pemasaran yang mengatakan bahwa “Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik dengan produk itu. Tapi produk itu mengigatkanku dengan sesuatu yang berharga bagi saya. Makanya saya membelinya.”.

Ini penting. Sebuah dorongan untuk merubah pikiran seseorang datang dari sebuah iklan atau promosi akan sebuah produk. Dengan kata lain pengaruh iklan begitu vital. Inti utama dan yang pertama tentunya membuat promosi menjadi menarik agar mendapatkan perhatian.

Teknik-teknik dalam marketing ataupun beriklan sudah sangat luas. Saking luasnya cara promosi lama yang salah satunya disebut dengan word of mouth sepertinya sudah tidak menemukan relevansinya lagi. Sudah saya buktikan pada tugas akhir saya pada aspek pemasaran saya memasukkan cara promosi usang ini, nyatanya dicerca habis oleh dosen pembimbing saya. Cara promosi dari mulut ke mulut sudah digantikan perkembangannya dengan sesuatu cara promosi yang lebih terstruktur dan jelas seiring teknologi yang semakin maju.

Berkaitan dengan tahun ini, tahun yang disebut sebagai pesta demokrasi. Cara-cara promosi capres  –kampanye- semakin beragam. Bukan hanya dengan promosi yang sehat, cara yang bisa dibilang agak menyimpang pun tak jarang dihalalkan mereka. Kasus baru-baru ini tentu saja masalah Setyardi Budiono dengan kontroversi majalah Obor Rakyat nya. Pada majalah ini antara fakta ataupun kampanye hitam juga masih terasa blur.

Pikir saya untuk masalah kampanye ini Prabowo lebih unggul, Prabowo pintar menyasar golongan muda dalam promosinya atau dalam hal marketing disebut segmentasi yang ditetapkan Prabowo adalah golongan muda yang bergejolak dan selalu ingin perubahan.

Berkaca dari media yang paling umum seperti media televisi Prabowo membuat iklan memanfaatkan olahraga paling populer di Indonesia yaitu sepakbola, dalam salah satu Prabowo iklan bahkan capres nomor urut satu ini terlihat sedang bermain bola dengan anak-anak. Dengan awalan iklan yang selalu narsis ‘saya Prabowo Subianto’ dan seolah ingin menunjukkan eksistensinya atau memunculkan ingatan dibenak rakyat. Ini juga hal penting dalam marketing saya kira, pengulangan-pengulangan yang berkelanjutan memunculkan stimulasi di benak konsumen yang dalam ingatan dalam jangka panjang. Ini brand image yang coba dimunculkan oleh Prabowo.

Beda dengan Jokowi, capres nomor urut dua ini, jika saya bilang bermain diwilayah promosi yang agak berbeda. Blusukan kini menjadi ciri khas yang membedakan dengan Prabowo, ini menjadi poin plus sendiri dimata rakyat. Rakyat memaknai apa yang dilakukan Jokowi ini sebagai suatu sikap yang pro rakyat. Walaupun memang tidak terlepas dari kampanye dimedia televisi. Iklan Jokowi lebih menegaskan kesederhanaan yang menjadi citra dirinya saat ini.

Pesta demokrasi tahun ini memang sangat berbeda, beberapa pihak yang dulu anti politis juga apatis, justru tak segan menunjukkan pilihan mereka. Hal ini sangat erat dalam kampanye yang dilakukan oleh capres yang mencalonkan diri. Saya kira visi misi kedua calon tetaplah seragam dan terkesan biasa saja. Ada beberapa poin yang saya kira mengarah ke ambiguitas malahan.

Selasa, 10 Juni 2014

Gumaman Seorang Mahasiswa Tingkat Akhir Manajemen Agribisnis

Kajian bidang pertanian di negeri ini memang bukanlah hal yang baru, malah saking lamanya masyarakat sudah bosan menggelutinya. Berangkat dari kondisi bertani yang cenderung tidak banyak mengubah hidup mereka. Masyarakat desa beramai-ramai menjadi masyarakat urban, dengan harapan yang tak muluk-muluk, agar merubah hidup mereka, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, kaya dengan lebih cepat.

Ah, itu hanya anggapan sarkastik mahasiswa jurusan Manajemen Agrbisnis yang sudah digembleng agar mencintai bidang pertanian, walaupun akhirnya memilih bekerja di bank atau di perusahaan swasta lain. Menjadi budak untuk orang lain, dan dengan nyaman mengikuti arus dunia global dengan gadget dan alat elektronik terbaru. Menjadi manusia apatis yang cenderung individualis. Mungkin juga akan menghamburkan uang diawal bulan, lalu kesulitan memenuhi kebutuhan diakhir bulan. Siklus gali lubang tutup lubang yang terlalu klise bagi masyarakat menengah yang bekerja di perusahaan-perusahaan di ibukota.

Itu yang terjadi pada sebagian besar angkatan diatas saya pada jurusan ini, alih-alih mendirikan sebuah bisnis. Malahan mereka dengan kesadaran penuh memilih untuk bekerja pada orang lain. Sebuah anomali sebenarnya jika kita berkaca kembali pada esensi awal tujuan lulusan Manajemen Agribisnis yang diharapkan, yaitu adalah untuk mencetak pengusaha muda khususnya dibidang agribisnis. Saya tidak bermaksud menyalahkan mereka, karena begitulah yang terjadi di negara ini, salah jurusan itu biasa, bekerja di bidang yang kontradiktif (mungkin) juga menjadi sangat biasa.

Bagi saya yang mahasiswa tingkat akhir ini tentu saja banyak menggalau dengan intensitas yang sama dengan kakak kelas dulu tentang masa depannya. Yah, dengan ilmu yang bisa dibilang kepalang tanggung ini kita harus menghadapi apa yang disebut sebagai dunia dan hidup. Jika nantinya di masyarakat saya ditanyai ‘dulu kamu kuliah kenapa mengambil Manajemen Agribisnis?’ ‘Apa yang kamu dapat dari sana?’ atau mungkin yang lain ketika saya dimintai saran oleh petani tentang bagaimana menanam jagung yang benar atau seberapa takaran pupuk yang paling baik untuk tanaman padinya. Mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan itu saya akan tergagap untuk menjawabnya.

Apa yang harus kita yakini hari ini? Menjadi manusia yang puas bekerja untuk orang lain atau menjadi mandiri seperti harapan program keahlian Manajemen Agribisnis, atau mungkin menjalani keduanya.

Keadaan di negeri yang kita tinggali ini seharusnya mengajarkan kita untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kalian mau Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara agraris itu tinggal dongeng? Kenapa harus malu menjadi petani? Saya tidak sedang berbicara tentang petani dalam konteks yang sangat sempit seperti macul, tandur. Dan jika itupun yang kalian pikirkan, saya kira pekerjaan itu masih lebih mulia daripada menjadi kacung di perusahaan-perusahaan multinasional.

Renungilah ini kawan-kawan Manajemen Agribisnis. 

Minggu, 25 Mei 2014

Ketika Hukum Sudah Tidak Relevan


Bagaimana sebuah hukum dibuat? Melalui metode empiris atau dalam setahapan pemikiran logis dari filsafat yang berfikir keras mengenai hukum itu sendiri. Bagaimana semua itu dijalankan? Dengan segala jenis pemaksaan dan pelarangan? Apalah yang kita lakukan untuk menghadapinya? Mentaati atau dengan keterpaksaan berusaha untuk tidak melanggar apapun yang tertulis dalam sebuah bentuk aturan yang (mungkin) tak pernah kita setujui.

Berhari yang lalu saya sempat menonton film besutan John Hilcoat, Lawless yang berkisah tentang 3 bersaudara yang menjual minuman keras secara ilegal, undang-undang yang ditetapkan pada saat itu adalah melarang bisnis seperti ini. Sebagai gantinya Bondurant harus membayar sejumlah uang untuk uang tutup mulut kepada penegak hukum. Forrest Bondurant si pemimpin keluarga menolak membayar sejumlah uang itu. Pada akhirnya keluarga mereka mendapatkan teror, ancaman kematian, dan percobaan pembunuhan oleh orang bayaran.

Suatu malam 2 orang tak dikenal menggorok leher Forrest, dia hampir mati jika tidak diselamatkan oleh Maggie, perempuan yang bekerja untuk Bondurant yang membuat Forrest jatuh cinta padanya. Malam itu Maggie menemukan Forrest tergeletak di halaman bersimpah darah dan kemudian membawanya ke rumah sakit. Namun Maggie tidak menceritakan hal yang sebenarnya, dia mengarang cerita bahwa Forrest sendiri yang berjalan ke rumah sakit sejauh 20 mil dalam kondisi sekarat, hal ini dia lakukan untuk menjaga mitos yang selama ini berkembang. Bahwa Forrest Bondurant adalah seorang yang tidak bisa ditaklukkan, dia tidak bisa mati. Hal lain yang tak diceritakan Maggie bahwasanya dia telah diperkosa 2 orang yang mencoba membunuh Forrest.

Keluarga Bondurant adalah sebuah representasi dari sebuah keluarga yang tidak mau diperbudak orang lain. Mereka memilih untuk diperbudak prinsipnya sendiri, bahkan dengan segala resiko yang mereka terima. Konsekuensi dalam menjaga cara lama yang sudah mereka jalankan bertahun-tahun, menetang kotornya sebuah sistem dan menjadikan pemberontakan sebagai usaha untuk mencabut perlindungan hukum.

Si bungsu dari keluarga Bondurant, Jack yang dianggap paling lemah akhirnya berhasil menjalin bisnis dengan gangster Floyd Banner, dari Floyd Banner pula Jack mendapatkan alamat orang yang berusaha membunuh Forest. Sejak saat itu Jack berubah menjadi seorang ekshibisionis karena jatuh cinta pada seorang wanita bernama Bertha. 

Deputi Charlie Rakes orang yang selama ini ada dibalik penyerangan-penyerangan yang terjadi ke keluarga Bondurant, membuntuti Jack dan Bertha saat mereka menuju Still (alat yang digunakan untuk membuat minuman keras). Tempat Still ini tersembunyi di dalam hutan dan tak banyak orang yang tahu. Itulah sebabnya Rakes selama ini tak menemukan tempat ini, hingga mereka membuntuti Jack dan Bertha. Sempat terjadi baku tembak disana, sebelum akhirnya petugas hukum meledakkan still itu. Cricket Pete yang merupakan pembuat wiski terbaik mereka, tewas dibunuh oleh Rakes.

Jack menyimpan dendam yang besar karena kematian Pete. Pada akhir cerita terjadi baku tembak di perbatasan, tetapi para sheriff akhirnya malah berbalik membela keluarga Bondurant karena kesombongan Rakes. Rakes tewas ditembak Jack. Setelah hari itu larangan UU dihapus dan mengakhiri konspirasi besar yang terjadi. 

Selasa, 20 Mei 2014

Yang Tersisa dari Praktik Kerja Lapangan


Tanggal 14 Mei lalu menjadi akhir saya di tempat yang kemudian kusebut sebagai pengalaman kerja pertama ini. Saya telah begitu banyak belajar dari tempat PKL ini. Bukan saja ilmu, malahan saya rasa ilmu yang saya dapat dari sini tidaklah sebanyak pengalaman yang saya dapat ,mengenai sisi humaniora. Sebagai manusia untuk lebih manusiawi lagi.

Dalam waktu ini saya ingin menyampaikan terimakasih banyak kepada semua rekan, karyawan dan warga sekalian. Kami telah diajarkan banyak hal. Tidak ada yang lebih pantas kami sampaikan selain permintaan maaf karena telah menyusahkan kalian selama ini. Satu hal yang benar-benar saya yakini sekarang adalah perihal pengetahuan itu banyak terdapat di buku-buku, tetapi dari semua itu lebih penting bagi kita untuk mendapatkan pengetahuan tentang hidup. PKL hanyalah satu sisi lain yang saya dan kawan-kawan lain lakukan tak lebih untuk memenuhi tugas akhir sebenarnya.

Ingin sekali saya sampaikan terimakasih yang begitu besar bagi Ahmad Fauzi, bukan saja karena telah memberikan kami waktu libur selama 10 hari untuk pulang kampung, tetapi sebagai pembimbing lapangan kami yang telah memberikan beberapa wejangannya yang berharga kepada kami ini. Kepada bang Buluk yang beberapa kali saat kami datang membikinkan kopi teko yang bahkan sampai sekarang masih kami harapkan untuk tersaji setiap hari. Bang Dartok dengan segala keramahan dan pelajaran tentang ternak ayam. Bang Lebeng dengan gaya tak bersalahnya yang pada suatu hari kemarin sempat menemani kami berburu lindung. Bang Alih, kami rindu lelucon-lelucon gila mu, iya guyonan tentang tukang ngarit yang ngondek disebelah empang. Tingkah jahil yang tak pernah ada bandingannya diantara kawan lain disitu. Terakhir adalah bang Rolli yang saya sebenarnya masih sedikit menyimpan sebuah rasa penasaran. Termasuk ketika beberapa kali mendengar cerita tentang bang Rolli dari mas Ahmad Fauzi.

Tak terhitung tawa bersama saat disini, beberapa pengalaman baru yang tak akan saya bilang sebagai pengalaman biasa. Suatu saat kami mungkin akan merindukan hari-hari seperti ini walaupun pada saat PKL kami selalu berharap agar PKL ini cepat-cepat selesai.

Terima kasih, kami doakan beliau-beliau sehat selalu.

Kamis, 01 Mei 2014

Sejenis Sapaan Untuk Gadis Tersayang

Perempuanku, kamu baik-baik saja kan?

Aku sudah lama tidak merayumu lagi. Tidak membual lagi, menggodamu masalah kulit yang kuning langsat. Dulu waktu awal-awal kita berpacaran hampir setiap hari aku menghujanimu dengan bualan. Tak jarang kamu hanya tersipu malu mendengar itu. Aku ingin merayumu lagi, lewat tulisan ini. Yang mungkin kau sudah bosan dengan segala bujuk seperti dulu.

Kamu yang sedikit banyak mengajari aku untuk membual, meskipun aku menyebut itu bukanlah bualan. Lebih kepada kejujuran, dan aku tak pernah berlebihan melakukan hal itu kan. Kau tahu itu? Karena aku sadar kapasitasku bukan seorang perayu yang handal. Dalam memikat hatimu pun aku merasa tidak banyak merayu dengan kata-kata. Aku lebih suka menunjukkannya secara langsung, aku lebih suka menepati janjiku.

Mungkin karena rayuanku terlalu garing dan membosankan yang tak jarang aku tak mendapat respon dan perhatian darimu. Hidup bersama selalu mengajarkan berbagai hal yang pada akhirnya tentang menerima kekurangan masing-masing. Hidup bersama sejauh ini membuatku untuk takut kehilanganmu. Aku takut tak bisa menemukan lagi orang seperti kamu dimasa depan jika berpisah. Siapa yang bisa berakal sehat saat patah hati? Aku tidak pernah malu mengakui sisi sentimen ini. Kamu tidak akan percaya ini pria yang sama yang pernah intens mendengarkan Loveless yang merupakan salah satu album My Bloody Valentine. Benar kan perempuanku?

Gadisku yang menggemaskan,

Aku tahu kini kau semakin sibuk dengan perkuliahanmu. Dengan silabus, dengan RPP atau apalah lagi. Bahkan tak sejengkalpun aku mengerti itu. Dan aku merasa berutung kamu tiap hari masih sempat mengabariku dengan beberapa pesan singkat, walaupun tak jarang kau meninggalkanku ditengah percakapan, dan aku merajuk.  Dan kamu menenangkanku, mengalihkan pembicaraan yang membuatku tertawa, dan aku kembali seperti semula sebagai pria yang sangat merindukanmu.

Kadang aku ingin sekali memperbaiki kelemahanku dalam berhitung dengan belajar darimu. Maklum semua orang tahu kapasitasmu sebagai mahasiswa jurusan Matematika. Berhitung dari yang sangat sederhana mungkin, dari menghitung volume kerucut atau menghitung probabilitas, berlanjut ke integral parsial. Aku tidak sabar menantikan hal itu.

Gadisku yang selalu melemahkanku,

Selama ini sudahkah kita mencoba memahami celah masing-masing, sudahkah kita mencoba untuk mengerti lebih dalam satu sama lain. Ini memang sulit perempuanku, sangat berat untuk dapat mengerti seseorang hanya dalam 2 tahun yang kita lewati ini. Tapi aku selalu mencoba. Aku selalu mencoba untuk membuat semuanya tampak jelas antara hitam dan putih. Sayangnya aku selalu terjebak diantaranya, di sisi yang abu-abu, belum jelas, seperti temaram senja, agak buram.

Bagimu bagiku tidak ada kelemahan yang pantas untuk dipermasalahkan kan? Aku mencintai kelemahanmu. Menjadi sederhana tidak akan menunjukkan kelemahanmu. Banyak-banyaklah bersyukur agar dapat lebih bahagia menjalani hidup, tak usah risaukan celahmu. Semoga saja kita memang diciptakan Tuhan untuk bersama. Karena kamu tahu? Apa yang disatukan Tuhan tidak akan pernah mungkin dapat dipisahkan oleh manusia. Doakan aku agar segera dapat menyelesaikan tagihanku diakhir semester ini. My hug from a far.

Senin, 28 April 2014

Beberapa Penegasan

Kadang beberapa orang bertanya mengapa saya menulis tentang musik, mengapa hal seremeh lantunan nada itu mesti ditulis atau mungkin dimaknai. Apa gunanya? mereka juga menyarankan untuk menulis yang lebih penting daripada sekedar memaknai sebuah bebunyian.

Saya hanya berkata ‘terimakasih atas sarannya’. Taufiq Rahman dalam sebuah esai yang berjudul Menulis Musik adalah Menulis Tentang Manusia mengatakan bahwa Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia. Ya pada akhirnya menulis musik adalah menulis tentang hal-hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan manusia dan menulis tentang musik yang dimaksud bukan hanya tentang memperkirakan suara yang diperdengarkan.

Banyak yang menulis tentang musik jauh ke dalam interpretasinya terhadap sebuah karya seni. Saya juga tak pernah mengenyam sekolah musik, saya tidak pernah mengerti tentang teknik legato, bending, atau juga sweep picking. Saya hanya menulis musik dengan label sebagai ‘penikmat’.

Saya memutuskan berhenti mendengarkan musik-musik arus utama setelah saya menyadari tak akan banyak yang saya dapat dari sana. Sebelum saya menyadari bahwa kualitas sebuah karya dihasilkan dari sebuah proses yang tidak biasa yang melatarbelakanginya. Saya lebih tertarik dengan sesuatu diluar sebuah karya itu dibuat, daripada harus mendengarkan karya yang dibidik karena memenuhi permintaan pasar atau karena keperluan kontrak.

Konsekuensinya saya lebih suka dengan hal-hal yang terjadi dibalik layar. Lebih suka mengait-ngaitkan sebuah karya dengan sesuatu yang lain. Lebih banyak berkomentar tentang mungkin saja sebuah lagu bisa menjadi soundtrack dalam sebuah aksi sosial atau juga sebuah lagu protes sosial. Daripada sekedar membahas teknik vokal sang penyanyi atau apakah gitarisnya menggunakan teknik bla bla bla dalam lagunya. Saya yakin musik yang bagus dihasilkan dengan sebuah proses kreatif, dan bukan karena dalam rangka memenuhi selera masyarakat. Musisilah yang harusnya membentuk selera itu. Musik bukan sesederhana teori bisnis yang hanya berfokus untuk memuaskan pelanggan.

Dulu saya tinggal di daerah pinggiran sehingga tak banyak akses untuk musik. Hanya musik-musik mainstream yang banyak terdengar di gadget-gadget kawan-kawan yang berbagi musik melalui piranti bluetooth. Dulu di tangkringan kawan-kawan hanya musik reggae yang menjadi sebuah warna tersendiri yang kadang membuang kebosanan tentang hidup yang cinta-cintaan. Sehingga saat ini setiap ada senggang kuliah saya memanfaatkan untuk mencari musik-musik, hanya saja tidak jauh-jauh dari kampus dan juga banyak mendengar musik dari berbagai negara. Saya mendengar musik asing dari yang asing yang tak pernah terbayangkan.

Pengaruh dalam beberapa musik juga lah yang sedikit banyak membuat saya selanjutnya berkawan baik dengan buku. Mendorong untuk menulis. Karya seni itu bisa dimaknai oleh pendengarnya dengan sangat beragam. Jadi saya pikir kenapa saya tak melanjutkannya untuk menulis. Walaupun itu personal dan hanya saya rasakan sendiri.

Minggu, 20 April 2014

Merumitkan Tulus


Saya selalu suka dengan kesederhanaan. Saya selalu suka menebak-nebak sesuatu dengan perasaan. Termasuk ketika pertama kali melihat cover album dari Tulus pada album barunya yang diberi tajuk Gajah. Menurut saya ini pasti adalah musik yang keren, covernya saja estetik. Backgroud hitam sesosok wajah yang terpotret dari samping dan tulisan Tulus dengan huruf biasa-biasa saja dengan penempatan yang juga biasa.

Kali ini saya tak salah, Tulus secara singkat membawa saya pada hal yang belum sempat saya lakukan, yaitu memberi waktu musik genre jazz untuk lebih lama terdengar ditelinga. Saya dulu jarang sekali mendengar lagu-lagu dari musisi jazz karena saya pikir musik ini sudah habis. Tidak kali ini, Tulus rasanya telah membuka jiwa saya untuk lebih banyak mendengar lagi. Album ini seperti menggenapi tagihan diri saya sendiri terhadap musik jenis ini.

Secara singkat lagu-lagu dari Tulus menceritakan cerita sehari-hari. Cerita sehari-hari yang terlalu biasa namun dikemas dengan luar biasa, dari sudut pandang yang luar biasa pula. Rasanya pada album ini juga tak lepas dari tema cinta, pada beberapa lagu. Disinilah letak perbedaan lain Tulus. Dia menggunakakan kata cinta dengan sangat pas, tidak berlebihan, dan tidak terkesan murahan.

Pada lagu Bumerang, Tulus menceritakan sebuah penghianatan dengan sangat tidak biasa dengan tidak ada rasa sedih tetapi malah mencoba membalas sebuah penghianatan yang ia terima. Lagu lain pada album ini adalah Sepatu, ini salah satu lagu favorit saya. Tulus menggunakan hal yang remeh yaitu sepatu dalam menganalogikan sepasang kekasih yang tak bisa bersatu. Kita adalah sepasang sepatu//selalu bersama tak bisa bersatu//Kita mati bagai tak berjiwa//Bergerak karena kaki manusia. Walaupun mereka selalu ingin bersama ada jarak yang memisahkan, ada hal lain yang tak bisa mereka ingkari. Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Terasa lengkap bila kita berdua//Terasa sedih bila kita di rak berbeda//Di dekatmu kotak bagai nirwana//Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya. Pada akhirnya hanya untuk menyadari bahwa cinta tak selamanya bisa untuk disatukan Cinta memang banyak bentuknya//Mungkin tak semua bisa bersatu.

Lagu yang dijadikan judul album ini sendiri ada pada urutan ke 6. Lagu dengan judul gajah ini juga sebuah perumpamaan. Sebuah konotasi yang (kemungkinan) ditujukan untuk dirinya sendiri. Gajah diumpamakan sebagai sebuah olokan, dalam makna lain olokan ini adalah sebuah pujian yang tak disadari. Penegasan pada lagu ini adalah bahwa sesuatu yang buruk itu belum tentu akan menjadi menjadi sebuah keburukan bagi kita. Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik.

Sejauh ini Tulus telah mengeluarkan 2 album, saya memang baru saja mendengarkan beberapa lagunya. Saya sama sekali belum ‘menyentuh’ album pertamanya. Tentu saja saya pertama kali tahu dia saja dari cover albumnya yang saya tebak-tebak. Tapi dengan sedikit lagu yang sudah tuntas saya dengarkan pada album ini sudah cukup menjadi bagi saya untuk memutuskan menjadikan musiknya sebuah candu.

Gaya vokal Tulus terkesan tidak ngoyo. Enteng ditelinga dan khas. Ketika langit mulai mendung dan bau petrichor mulai tercium dengarkanlah lagu ini. Vokal ringan, kemerduan sebuah balutan jazz, dipadu lirik yang kuat, lugas, dan elementer.

Jumat, 18 April 2014

Konotasi

Kamu tahu kan rasanya ditinggalkan? Tidak dihiraukan, dilupakan. Sama sakitnya seperti dikhianati, mungkin lebih. Kemudian kamu mencoba merenungkannya hanya untuk menyadari bahwa inilah yang terbaik. Kamu tak pernah merasa sesakit ini sebelumnya, dan sesudahnya kamu terlalu berhati-hati dalam bersikap. Pengalaman tentang luka menjadikanmu pribadi yang lain.

Semua hal dalam kehidupan tak pernah asing bagi kita –kecuali kita yang menganggapnya sendiri--. Semua itu ibarat hal yang datang dan pergi lagi. Walaupun dia pergi tentu bukan berarti sebuah akhir. Ada kalanya kita tak harus percaya pada kata-kata dan apa yang terlihat. Mata kita sendiri saja bisa menipu, apalagi kata-kata. Mudah sekali untuk memplesetkan lidah ini kearah sebaliknya.

Kita tahu bukan jika dunia ini penuh makna. Selalu ada makna dibalik kata-kata dan bukan sebaliknya. Manusia perlu memikirkan makna itu dengan nalarnya. Akupun pernah mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang kau alami. Terlahir kemudian terasingkan. Aku tidak memiliki banyak teman dalam hidupku, tidak seperti dirimu yang selalu berkawan akrab dengan siapa saja. Aku bukan memilih-milih teman, terlebih karena aku terlalu suka menyendiri. Ah, kau sudah tahu itu setelah bertahun aku mengenalmu.

Sabtu, 29 Maret 2014

Meneladani Bambang Ekalaya

Aku ingin membagi sebuah cerita kepada kalian, mengenai seorang pangeran dari negeri Nisada. Dia adalah Bambang Ekalaya. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa Bambang Ekalaya hendak memperdalam ilmu memanahnya, datanglah dia ke Hastina untuk menemui Resi Drona yang hendak ia jadikan guru. Namun keinginan itu ditolak oleh Resi Drona dengan alasan Resi Drona hanya akan menerima murid dari Hastina. Tetapi Bambang Ekalaya tak patah arang, kemudian di tengah perkemahannya dia membuat patung yang mirip dengan Resi Drona yang setia dia sembah dan puja setiap harinya. Dia juga kadang mengintip ketika Resi Drona mengajari murid-muridnya.

Suatu ketika ada sebuah pertandingan memanah, Bambang Ekalaya ternyata mengungguli Arjuna bahkan lebih sakti daripada Arjuna. Bambang Ekalaya juga menguasai ilmu memanah Danurweda yang terkenal sulit untuk dikuasai itu.Para Korawa kemudian bertanya siapa guru dari Bambang Ekalaya. Bambang Ekalaya menjawab bahwa gurunya adalah Resi Drona. Selepas itu para Korawa datang kepada Prabu Drestarata, ayah dari para Korawa. Prabu Drestarata kemudian memangil dan berbicara kepada Resi Drona perihal janjinya untuk tidak mengajarkan ilmu utama itu kepada Ksatria dari negara lain. Resi Drona bingung dengan kenyataan ini, dan meminta waktu untuk mendapatkan jawabannya. Karena dia sama sekali tidak pernah merasa mengangkat murid dari negara lain. Akhirnya dibuntutilah Bambang Ekalaya, sampai ke tempatnya berlatih. Dia terkejut melihat patung dirinya, berdiri tegak di tengah-tengah sanggar pemujaan Sang Ksatria utama. Bambang Ekalaya tengah khusuk, berdoa dihadapan patung dirinya itu. Lalu disapalah Bambang Ekalaya oleh Resi Drona.

Bambang Ekalaya terkejut mendengar suara yang sangat dikaguminya itu, dengan setengah tidak percaya, dia melihat Resi Drona berdiri di hadapannya. Sambil menyembah Bambang Ekalaya berkata “Guru yang hamba puja dan hormati, ada apakah gerangan engkau datang ke tempat hamba yang hina ini”. “Terimalah sembah sujud hamba kepadamu”.

Lalu Guru Drona bertanya, segala yang terjadi selama ini. Dengan penuh hormat, Bambang Ekalaya menceritakan perjalanannya meraih ilmu dengan cara belajar sendiri dan memuja patung Resi Drona untuk mendapatkan restu dari Sang Guru. Resi Drona terharu mendengar penuturan dari Bambang Ekalaya. Dia sadar, bahwa kemampuan sang murid dalam belajar sendiri sangat luar biasa. Hanya dengan rasa bhakti terhadap guru, walau tanpa diajar langsung, dia dapat menguasai ilmu Danurweda yang terkenal sangat sulit untuk dipelajari itu.

Mendengar penjelasan itu, Resi Drona gundah melihat kenyataan yang dia hadapi. Melihat kesedihan dari roman muka Sang Guru, lalu Bambang Ekalaya bertanya, ada apa gerangan, sehingga menjadi berduka seperti itu. Sang Guru berkata, “Bambang Ekalaya anakku, aku terharu akan usahamu dalam melaksanakan swadhyaya atau belajar sendiri. Engkau mampu menguasi ilmu Danurweda yang sangat sulit ini, yang bahkan akupun belajar dengan guruku selama bertahun-tahun. Sedangkan ananda dapat menguasainya dalam waktu singkat dan sangat sempurna, hanya dengan rasa bhakti. Namun aku sekarang berada dalam posisi sangat sulit, dan ini tidak sama sekali karena kesalahanmu. Aku pernah berjanji kepada Prabu Drestarata, untuk tidak mengangkat murid selain dari keluarga Hastina. Dan akibat ulah dari pada Korawa setelah kalah perang tanding denganmu, maka aku dituduh berkhianat terhadap janji yang telah aku ucapkan sendiri. Sedangkan menepati janji adalah kewajiban utama bagi seorang Brahmana. Mungkin ini memang sudah jalanku, sehingga aku tidak bisa melanjutkan cita-citaku sejak lama untuk menjadi Brahmana Kerajaan. Tapi aku sangat bangga kepadamu Bambang Ekalaya. Engkau akan menjadi contoh bagi generasi muda, yang tidak cengeng, dan mampu mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.”

Bambang Ekalaya menangis dan bersujud kepada Resi Drona, meminta maaf atas kelakuannya yang telah menyusahkan hati Sang Guru yang sangat dia hormati. Seraya berkata, apa yang dia dapat dilakukan untuk menebus kesalahannya. Resi Drona kembali berkata, bahwa ini bukanlah kesalahan dari Bambang Ekalaya. Namun ini hanya karena takdir. Namun Bambang Ekalaya bersikukuh dengan pendirian, bahkan mau mengorbankan nyawa demi Guru yang dia cintai.

Akhirnya setelah lama berdialog, Bambang Ekalaya berjanji untuk tidak menggunakan ilmu Danurweda tersebut, sebagai buktinya dia merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong, sehingga tidak bisa memanah lagi. Serta merta, Bambang Ekalaya memotong ibu jari tangannya dan dengan rasa hormat, di persembahkanlah ibu jari itu kepada Resi Drona yang sangat dia hormati.

Maka terkejutlah Resi Drona terhadap pengorbanan dari Bambang Ekalaya, dengan menangis haru, Resi Drona memberikan restu dan mendoakan Bambang Ekalaya, kelak menjadi Ksatria dan Raja Utama. Dengan rasa hormat dan terima kasih, Bambang Ekalaya memeluk kaki Sang Guru, seraya mohon pamit untuk kembali ke negaranya. Lalu mereka berpisah, dan Resi Drona kembali ke Hastina dan menceritakan kepada Prabu Drestarata tentang hal yang terjadi. Akhirnya Guru Drona tetap menjadi Brahmana Kerajaan di Hastina, sedangkan Bambang Ekalaya menggantikan ayahnya menjadi Raja di negara Nisada.
                                                                    ***
Apa yang dapat kita petik dari cerita tersebut, adalah rasa hormat kepada seorang guru. Selama ini banyak dari kita telah menganggap guru sebagai seorang yang tak lebih dari penceramah biasa. Yang memberikan ilmu pasti, memarahi bila kita salah dalam mengerjakan soal. Hanya itu yang kita ingat dari sosok seorang guru. Bahkan kadang kita membenci mereka,  karena suatu alasan.

Saya juga pernah mengalami kebencian seperti itu kepada seorang guru, sampai bertahun-tahun saya mendendam kepadanya. Sampai akhirnya Bambang Ekalaya membuka mata bahwa tidakkah kita mencoba berfikir untuk lebih dalam mengetahui guru bukan semata memberi pendidikan secara formal, namun juga mencoba membentuk sikap kita ke arah yang baik tentunya.

Dalam kenyataannya kita menghamba ilmu atau mungkin pengalaman kepada mereka. Seperti cerita Bambang tersebut walaupun dia tidak diajar oleh langsung oleh Resi Drona tetapi kemampuannya melebihi murid Resi Drona yang diajarnya secara langsung. Bambang telah mengajari kita bahwa belajar sendiri dengan upaya yang sungguh-sungguh, dapat menghasilkan kemampuan sama bahkan lebih baik, daripada murid yang berguru secara langsung. Kemudian tentang rasa baktinya kepada seorang guru yang luar biasa. Yang tentunya sudah jarang kita dapati di ranah pendidikan hari ini.

Minggu, 23 Maret 2014

Dendang Maut Belukaria Orkestar


Sebenarnya saya malas untuk menulis lagi tentang review seperti ini. Ya, saya sudah banyak mencoba menulis review seperti ini, hasilnya cukup monoton dan membosankan, selain itu kadang sesuatu yang saya rasakan tak bisa untuk sekedar diungkapkan dengan tulisan ataupun kata. Kadang saya merasa bahasa terlalu sempit untuk bisa mewakili kenyataan sebenarnya. Tetapi ini mungkin terasa seperti hutang jika saya tidak membuat review tentang band luar biasa asal Palembang, Semakbelukar. Saya ingat bahwa tujuan saya menulis adalah untuk menghindari kelupaan tentang apapun. Setidaknya ini layak ditulis karena sudah mengubah pandangan saya tentang suatu hal.

Sebelumnya saya tak pernah suka dengan aliran musik melayu. Alasannya memang terlalu dangkal saat itu untuk menilai musik melayu dari media yang mengecap band-band  yang beredar dipasaran, yang memenuhi layar kaca setiap pagi di acara musik, yang telah membuat citra musik melayu bagi saya menjadi buruk. Band-band melayu mainstream yang seragam dan cengeng  adalah sebuah keboborokan yang dipelihara. Dan Semakbelukar adalah sebuah anomali mungkin, jika mungkin melayu yang sejati itu relatif bagi setiap orang. Semakbelukar adalah sebuah penawar dari semua itu, semacam relevation yang pas diujung senja tiba dan keheningan beranjak.

Bagi saya mereka cukup bangsat untuk sebuah band yang mulai dikenal, malah kemudian mereka memutuskan untuk bubar.  Entahlah apapun alasan mereka dalam keputusan ini, yang jelas mereka telah membuat banyak orang kecewa dan bertanya-tanya. Kenapa harus bubar sekarang.

Saya banyak menangkap lirik lagu mereka adalah merujuk kepada kritik sosial. Kritik sosial yang dikemas dengan luar biasa dan cadas. Lewat metafora-metafora kata yang saya yakin dibutuhkan waktu dan proses kreatif yang mumpuni sebagai sebuah pemberontakan. Semakbelukar memang eksotis, secara visual saja melihat alat musik musik yang mereka gunakan adalah terlampau sederhana. Siapa sangka gong kecil yang banyak dipakai tukang es keliling ini adalah bagian dari musik mereka.

Ketika David Hersya mulai melantunkan suara, saya pun luruh merendah menikmati lantunan yang lebih mirip muadzin saat adzan ini. pada lagu Kalimat Satu yang dimulai dengan permainan akordeon lalu dentuman gendang yang teratur. Ketika kita sudah bosan dengan musik yang ada saat ini, Semakbelukar adalah kesempatan yang bagus untuk Anda menikmati dendang ringan yang mendayu-dayu. Mereka sama sekali tidak terlihat njlimet dan berskill tinggi. Cukup sederhana untuk sebuah band, kesederhanaan yang justru mungkin saja bisa memunculkan sesuatu yang lebih rumit jika kita menyimak mereka dengan lebih dalam.

Kalian tahu bahwa tampilan luar selalu menipu kan? Semakbelukar memang terlihat biasa-biasa saja. Sebelum saya menemukan bahwa ada sesuatu yang menarik dari band ini. Pada saat semua manusia bisa dibilang menuju ke arah yang semakin modern. Mereka malah memilih hal yang sangat kuno dan tradisional, dan mungkin ini yang luput dari kita. Ternyata sesuatu yang kuno itu terasa lebih modern dari apa yang disebut modern itu sendiri.

Namun, saya juga tidak begitu yakin itu satu-satunya alasan, barangkali sebagian dari kita hanya sedang bosan dengan musik saat ini yang sudah terlampau  biasa untuk telinga kita dan kita sekedar mencari alternatif lain dalam rangka pelarian untuk membunuh kebosanan itu. Saya tidak tahu, setidaknya itu adalah hal yang masih abu-abu. Saya memang belum yakin bahwa mendengarkan Semakbelukar adalah sebuah pengalaman religius, saya belum yakin. Entahlah setidaknya saya selalu punya waktu menikmati dendang mereka lewat earphone yang terpasang dilaptop. 

Selasa, 18 Maret 2014

Bagaimana Kamu Menghadapi Pengkhianatan?

Dulunya aku dan kamu selalu menertawakan semua semaunya. Kita memang tidak pernah mencoba memikirkan tentang perpisahan. Karena aku dan kamu telah membuat sebuah rencana yang selalu kita perbaharui dan revisi. Namun apalah dayaku juga dayamu dalam menghadapi keadaan. Seringkali kita harus menyakiti satu sama lain karena terlena oleh hal yang tak pernah kita harapkan.

Hidup selalu bisa menjelaskan semua, semua tentang ketidakpastian, semua tentang kegagalan. Waktu tak mungkin kita abaikan, situasi tak pernah dapat kita pastikan. Hanya hati mungkin yang dapat menuntun kita, untuk meyakini yang sejati itu. Atau mungkin hati lah juga yang menunjukkan kesalahan itu.

Barang tentu semua pengkhianatan akan meninggalkan sebuah dendam, dendam yang mungkin bertahan dalam hitungan hari atau dendam yang mungkin akan dipelihara sampai mati oleh pemiliknya. Yang kedua itu adalah hal yang sangat berbahaya bagi pemilik dendam maupun penyulut dendam. Dendam bisa saja mengubah seseorang menjadi apa yang sebelumnya tak terbayangkan.

Cinta itu banyak menimbulkan dendam dan luka, itu telah diyakini sebagian besar dari kita. Cinta seorang manusia tidak akan abadi, apapun itu tentang kisah Romeo dan Juliet. Jika janji adalah sebuah hutang, maka pengkhianatan adalah hutang yang dibawa mati. Hutang yang tak akan terpenuhi.

Sabtu, 15 Maret 2014

Tidak Akan Ada Hari yang Spesial

Selamat ulangtahun untuk diriku sendiri

Sejatinya ada yang layak ditebus dalam sebuah perjalanan usia, entah tentang kedewasaan atau kebijaksanaan. Bagi saya pertambahan usia adalah sebuah tuntutan untuk tak lagi banyak bermain, tak lagi banyak bersenang-senang. Hari ini, hari yang kemudian kusebut hari ulangtahun selalu menyingkap kesadaran-kesadaran lain. Bahwa di umur yang saat ini apa yang telah saya capai? Tidak banyak. Saya belum menghasilkan apapun dalam sebenar-benarnya sebuah ekspentasi atas seorang manusia.

Diusia saya yang saat ini dibelahan bumi lain pada masanya Bill Gates telah memulai mendirikan Microsoft atau yang lain Steve Jobs juga mendirikan Apple di usia saya saat ini. saya tidak melihat kesuksesan mereka saat ini sebagai sesuatu yang harus saya capai. Tetapi merupakan sebuah isyarat yang saya butuhkan bahwa diusia ini saya harus memulai melakukan sesuatu, entah apapun hasil yang akan saya dapatkan. Saya juga harus tetap rendah dan bersiap untuk kemungkinan terpahit sekalipun.

Barangkali saya bukan seperti kebanyakan orang yang selalu memaknai hari lahirnya sebagai sesuatu yang layak untuk dirayakan dan bersuka cita menyambutnya. Memperbuasnya dengan lagu selamat ulangtahun, beberapa pengharapan dan tiupan lilin. Saya tidak pernah atau mungkin belum pernah merasa suka cita seperti mereka dalam menyikapi hari lahir saya. memang barang tentu suka cita yang saya maksud sangat subjektif dan relatif. Sampai usia saat ini belum sekalipun saya merayakan hari ulangtahun. Iya, saya tidak mengada-ada. Bahkan seringkali dihari seperti ini saya agak bersedih, namun ada juga sedikit rasa syukur di lain sisi. Bahwa saya masih diberi hidup sampai usia ini. kesedihan yang sering saya rasakan bahwa umur saya bukannya semakin bertambah yang ada malah semakin berkurang.

Hari ini pun saya akan tetap melakukan hal-hal seperti biasa, minum kopi dipagi hari, merenung diwaktu dhuha, bersendawa seperlunya, membuang sampah, membaca buku sebelum tidur. Tidak akan ada yang istimewa hari ini, tidak ada ritual tiup lilin, dan saya tak pernah mengharapkannya. Cuma kesadaran mungkin yang akan berubah, usia hanya akan saya jadikan sebuah alasan untuk melakukan sesuatu hal yang lebih berguna dan lebih bijak. Rencana mungkin yang saya perlukan untuk mewujudkan keinginan yang ingin saya ungkapkan hanya kepada setan yang setia membuat saya malas dan ragu untuk melakukan suatu hal. ‘setan yang selalu bersetia menyertaiku, kali ini saya akan bersungguh-sungguh, aku tidak akan terlena oleh keraguan yang kau bisikkan, aku akan berbeda dari hari yang kemarin. Jika kau bersikeras tetap ingin mengangguku bekerjalah lebih keras, bila kau tidak keberatan lebih baik bantulah aku untuk memulai semua ini, juga bantulah aku untuk lebih dekat pada Tuhanku, jika itu mungkin tak memberatkanmu’.

Seberat-beratnya tantangan dalam hidup adalah masa dimana kita dalam proses keluar melintas batas dan merobohkan tembok yang mengkangkangi semua pengharapan. Barangkali kita cukuplah untuk menuai sebuah kerentanan dan butuh lebih dari sekedar keyakinan dan perhitungan dalam usaha pencapaiannya. Bersanding dengan perenungan hal-hal yang belum dicapai secara berkala hanya akan merusak  keyakinan itu sendiri, maka saya mencoba melupakan sebisanya. Kadang saya juga benci hari-hari seperti hari ini atau tahun baru, dimana saya diharuskan mengingat semua itu lagi, dimana seperti ketika tahun yang baru datang semua orang seperti akan menjadi orang yang baru yang lebih dari apa yang tidak sama sekali mereka harapkan, bahkan kadang itu dilakukan tanpa perubahan sikap dalam diri. Hanya sebuah omongan, atau mungkin ditutupi dengan kedok doa. Saya sebisanya juga tidak mau semunafik itu, walaupun penyangkalan pun menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan apa yang disebut sebagai sikap dasar seorang manusia adalah seperti itu.

Sabtu, 01 Maret 2014

Memaknai Nightswimming

Selera musik saya mungkin juga layaknya roda, kadang keras (butuh semangat) dan terkadang lembut bagaikan soft fur. Mungkin saya terjebak pada anggapan dikotomi saat itu, dimana semua harus imbang dan berpasangan. Yin dan Yang adalah dua sisi yang saling melengkapi. Jika malam-siang, kanan-kiri saya harus melengkapi sisi keras nan cepat itu dengan lembut dan mendayu-dayu. Ya kadang saya mendengarkan Semakbelukar, band melayu revolusioner yang sudah bubar itu. Kadang pula Pearl Jam. Dan malam itu mungkin waktu yang tepat untuk menjadi jinak dan diam.

Malam itu, malam yang membuat saya harus bertarung dengan kesendirian saya (sendiri dikosan). Waktu itu malam dan kesendirian hampir membuat saya gila. Saya membuang kesunyian dengan lagu dari R.E.M yang telah lama mengendap di laptop setelah berbulan lalu saya unduh. Beberapa lagu dari mereka sudah tidak asing ditelinga macam Man On the Moon dan Losing My Religion. Malam itu memang semua yang saya dengarkan adalah Greatest Hits Collection mereka. Ada 18 lagu.

Saya sedikit tersentak pada track terakhir yang saya dengarkan, kemudian saya mencoba mengulang lagu pada track yang sama. Setelah saya tahu judul lagu tersebut adalah Nightswimming. Saya berkata sendiri ‘apik cak lagune’. Tapi kenapa saya juga ingin berenang malam hari jadinya, sesuai judul lagu itu. Padahal saya tipe orang yang tidak kuat dingin. Untuk wudhu di malam hari jika mau melaksanakan sholat Isya’ pun rasanya seperti ditusuk dingin njengkut yang luar biasa.

Pada malam yang hampir mendekati seperempat itu memang ketika saya merasa tidak ada film yang perlu untuk ditonton, tidak ada buku yang wajib dibaca, dan lagu-lagu yang biasanya sudah terlalu ringkih untuk diputar. Maka saya memilih merebahkan badan sambil memutar lagu dari band yang belum banyak saya dengarkan ini.

Cinta, memori dan harapan meleleh menjadi satu dalam balutan balada melodi indah ketika mendengar Nightswimming.  Bagi saya Nightswimming seperti hujan dibatas kemarau setelah kebosanan saya saat itu. Bosan berteman sepi dan kopi, dan bahkan beberapa pesan singkat di handphone seperti hanya gabungan huruf tak bermakna. Bagaimana kadang lagu balada seperti ini seperti lebih buas dari dari lagu biasanya yang terdengar ditelinga.


Jumat, 14 Februari 2014

Suara Kami, Meski Agak Serak

Sejak awal Januari lalu desa tempat kelahiran saya sedang ribut-ribut terkait masalah PJ (Pengganti Jabatan) yang tak kunjung usai. Masa jabatan nomor satu desa lowong karena masa jabatan Kepala Desa Moh. Sarpin sudah habis, dan pemilihan masih akan dilakukan tahun depan. Saya sedang membicarakan desa Paringan, jika kalian ingin tahu tentang desa ini bisa lihat informasi  disini atau ini.

Akar masalah bermula ketika Camat memilih mengganti PJ dengan pilihannya sendiri, padahal sebelumnya warga desa Paringan sudah menyiapkan pengganti yang sesuai pilihan mereka, tetapi Camat malah memilih orang dari daerah Desa Sooko sebagai PJ tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga. Ini yang membuat warga desa marah dan akhirnya melakukan demo pada 9 Januari lalu.



Saya yang pada pertengahan Januari lalu sempat pulang memang merasakan betul bagaimana atmosfer peristiwa ini begitu bergaung, saya selalu mendengarkan pembicaraan yang sama di banyak tempat, di warung-warung kopi, di antara tokoh desa yang sibuk menghadiri rapat, bahkan di tangkringan dekat gardu sebelah rumah saya.

Warga memang tidak main-main dengan masalah ini, sampai-sampai mereka menyegel Kantor Kepala Desa. Empat hari yang lalu, lihat ini, ini, dan ini.



Saya memang masih awam dan tak terlalu tahu tentang hal ini, namun dari beberapa pembicaraan yang saya dengar, saya menyimpulkan bahwa ini hanyalah perdebatan antara warga Desa Paringan dan camat yang punya senjata SK dari Bupati itu. Bahkan sebenarnya ini layaknya perang yang sulit dimenangkan oleh warga desa. Karena SK dari Bupati tentu saja akan sulit untuk dicabut. SK itu saya pikir terlalu kuat karena langsung keluar dari Bupati.

Tetapi kawan-kawan saya tahu kalian semua memegang prinsip bahwa hidup yang layak adalah dengan memberontak, tidak hanya adem ayem seperti yang lain. Mungkin desa sebelah selalu baik-baik saja, mungkin pula kita tak terlalu tunduk pada otoritas yang mengatur kita. Tapi kalian semua tidak seperti itu, kalian semua melakukan itu karena memegang nilai-nilai dan berontak karena telah ada yang menodai nilai yang selama ini kalian yakini itu. Mungkin kalian sudah terlalu fasih memaknai lagu Bongkarnya Iwan Fals.

Mengkritisi otoritas itu perlu, turun ke jalan itu perlu, jika memang jalur musyawarah yang selama ini dianggap sampah oleh mereka. Tidak perlu babibu, hanya lakukanlah aksi nyata seperti... ya mungkin menduduki kantor adalah hal yang tepat.


Kepada kalian Bago yang selalu menjadi koordinator aksi di Dusun kita, Kasbon yang rajin mengabarkan kepada kawan lain melalui media sosial, Tobing yang selalu di garda depan pada saat aksi nyata kita, si Jack juga, Ngarun juga, Rembyung juga dan warga Paringan secara umum yang telah kompak menyuarakan keberatan kita ini.

Rabu, 05 Februari 2014

Surat Terbuka Untuk Bapak Sutara Hendrakusumaatmaja

Bapak Sutara yang terhormat,

Bagaimana kabar Anda hari ini pak? Sehat? Alhamdulillah, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kemuliaan bagi Bapak. Ngapunten bapak saya sudah berani-beraninya bikin tulisan semacam ini.

Sejujur-jujurnya memang kami semua kecewa dengan hasil Ujikom ini. Kami tidak tahu apakah setiap tahun memang seperti ini atau hanya angkatan kami yang mengalaminya tahun ini. Seburuk itukah angkatan kami sehingga kami semua harus mengulang ujian sampai tahap III. Apa memang dalam ujian kami harus menjawab semua soal dengan benar. Yang kami tahu sebelumnya kesepakatan nilai minimal adalah 65, atau memang Bapak punya sistem penilaian sendiri, kami tidak tahu. Mungkin juga ini konsekuensi akreditasi MAB yang A itu. Apakah benar begitu pak?

Bapak Sutara yang baik, tulisan ini tak bermaksud apapun. Hanya sebuah tanda tanya besar dalam benak kami. Kami atau saya secara subjektif tahu jikalau orang yang besar itu bukan orang yang rajin dan pintar mengulang pelajaran dikemudian hari. Tapi orang yang peka terhadapa lingkungan sekitar dan dapat menganalisis suatu keadaan lalu mengambil keputusan. Apalagi kompetensi Program Keahlian ini untuk mencetak seorang wirausaha. Seorang wirausaha mutlak harus memiliki kemampuan analisis yang mumpuni dengan mempertimbangkan semua aspek. Jika soal tempo hari nomor 1-6 memang menunjukkan pengulangan pelajaran biasa -hafalan-. Dan hafalan tidak akan ada artinya jika tidak membandingkan dengan analisis nyata. Mungkin itu yang Anda harapkan dari kami, bukan hanya dapat menghapal tetapi juga peka terhadap sebuah kejadian.

Lebih dari itu Bapak Sutara yang baik, saya tak bisa membayangkan bagi mereka-mereka yang sudah pulang ke kampung halamannya atau sudah membeli tiket. Ya mungkin itu memang salah mereka sendiri, kenapa berani-beraninya pulang padahal hasil ujian belum pasti. Tapi ya sesalah-salahnya orang masa tidak ada dispensasi. Karena manusia itu tempat salah dan hanya Allah yang sempurna. Bukan maksud untuk menggurui bapak, Maaf bapak ini saya kutip dari perkataan seorang kawan setelah melihat pengumuman Ujikom tahap II.

Bapak Sutara yang baik, sebenarnya semua ini tidak menjadi masalah bagi saya secara pribadi. Tapi tampaknya kawan-kawan lain tidak sependapat dengan saya. Mereka meluapkan kekesalan pada berbagai media sosial. Ada yang bernada kesal, marah, sebagian lagi bahkan dengan satire menyebut ini sebuah drama yang menegangkan dan mencengangkan. Tak apalah pak tak usah difikirkan, lagi pula niat Anda mulia, mengajarkan kami semua bahwa yang kami dapat selama ini belumlah cukup.

Barangkali mereka hanya merasa kecewa yang berlebihan pak, barangkali mereka hanya merasa layaknya kisah Sisifus itu. Bapak Sutara yang baik pernah mendengar cerita tentang Sisifus yang dikutuk untuk mengulingkan batu keatas bukit hanya untuk melihat batunya menggelinding kebawah. Bapak pernah merasa layaknya Sisifus? Dimana semua usaha yang dia lakukan hanya untuk kesia-siaan. Ini mungkin yang kami rasakan sekarang dimana belajar dengan sungguh-sungguh hanya untuk kesia-siaan. Kami sudah berusaha belajar sebisa mungkin untuk menghadapi ujian ini pak. Pada tahap II kami juga sudah mencoba memperbaiki jawaban soal yang salah. Benar sekali memang jika dikatakan bahwa kita belajar untuk kita sendiri, tapi kami perlu tahu nilai kami apakah memang dibawah standar 65 itu dan bukan hanya maklumat dua lembar didepan gedung akademik.


Oh ya, disini saya tidak bermaksud untuk mencari kesalahan Anda kok pak. Barangkali kita memang perlu mencontoh bapak, bapak Sutara yang masih dengan semangat tanpa keluh kesah mencoba membimbing kami. Bapak bisa saja meluluskan kami semua dan lalu bersantai-santai dirumah. Tidak perlu berpikiran ini itu lagi untuk mengurusi kami yang seangkatan ini untuk ujian-ujian tahap selanjutnya. Tapi itu tidak Bapak lakukan karena tahu bahwa anak-anak didiknya masih perlu bimbingan sebelum terjun ke masyarakat yang dalam hal ini adalah PKL. Terimakasih sebelumnya Bapak.

Selasa, 04 Februari 2014

Kisah Saya dan Seorang Philips

Pertama kali kalian mendengar nama Husna pasti kalian akan menyangka bahwa dia seorang perempuan. Tapi setelah membaca nama panjangnya Husna Alliyus Dwi Karisma selanjutnya kalian juga akan bertanya ini cewek apa cowok? Tapi nyatanya dia adalah seorang lelaki, yang jantan, yang normal, yang tampan, yang suka banget Maudy Ayunda (uppsss).

Ini foto yang saya curi dar FB nya, pake jaket saya :D


Aneh sekali bahkan jika memangilnya pun dengan panggilan ‘hus’ (sebagian besar temannya memanggil dengan panggilan ini), ‘hus, kamu mau kemana?’, ‘hus, kamu sudah gila ya?’ layaknya ngurak pitik atau sebagai bentuk bungkaman karena telah berkata tidak sopan dalam bahasa jawa ‘hus, omonganmu seng apik’ . Sebelum tahun ini saya sudah 2 tahun satu kontrakan dengan dia, mendengarkan humornya yang garing, memasak nasi bersama di satu rice cooker berlumut, dan berbagi-sempak.

Husna Alliyus merupakan penggemar Liverpool yang sering membanggakannya dan sering sakit hati jika diejek oleh fans rival semisal MU, Chelsea. Beberapa waktu lalu dia sampai berkata ‘saiki panganen pendukung e MU, biyen lek omong koyo-koyo o’ itu intinya yang sedikit saya simpangkan karena lupa kata-kata otentik yang keluar dari dia. Dia sering maen PES dengan saya walaupun dia tidak pernah mengakui kekalahannya. Maaf karena membuat Liverpool kalah hanya karena melawan Genoa atau Parma, bukan melawan Joker ku AC Milan.

Husna juga membuat nama kecilnya sendiri, dan betapa epic namanya -Philips-. Di akun twitternya bisa dilihat ini. Nama itu tertulis hampir di semua sisi kehidupannya, nama user di komputernya, nama emailnya, di facebooknya yang dulu (sekarang sudah berganti nama) dan juga pada nama-nama lain yang tidak mengharuskan menggunakan nama asli, dia pasti akan memakai nama ini. Dari nama itu dia hendak menyamakan dirinya sendiri dengan jempol kakinya pangeran Philips. Suatu waktu juga ingin saya katakan bahwa Pangeran Philips itu sudah tua, bahkan sudah meninggal beberapa waktu lalu. Ya saya mengurungkan mengatakan semua itu.

Sering sekali bahkan terlampau sering dia berkeluh kesah ria dalam menghadapi kehidupan, saya dan dia memang sering berdiskusi tentang kehidupan ini, tentang uang jajan yang pas-pasan, tentang kehidupan yang bahkan tak satu setanpun mau mengetahuinya. Seringnya pada akhir cerita kami saling lempar-melempar kata-kata bijak dari kesimpulan yang dibicarakan. Tak jarang kami juga berdiskusi tentang cinta. Untuk yang terakhir ini pasti dia akan merasa sangat sentimentil dan terlihat uring-uringan, dia sering sekali mengalami kegagalan dalam soal ini. Padahal soal wajah dia tampan, kurang apa coba?

Saya hampir mengikuti semua kisah cintanya yang gagal selama dua tahun dikontrakan yang lama. Dia selalu hampir berhasil meraih hati gadis pujaannya sampai akhirnya dia menyadari banyak hal yang membuatnya tak akan berhasil. Entah karena si cewek tidak mau untuk sekedar sms duluan atau dia takut mengalami penolakan.


Ada sebuah kisah menarik sebenarnya antara bunga mawar putih, rapat, dan parfum pada malam itu. Namun saya tidak akan menceritakannya disini, ini personal dan saya takut dia akan tersinggung nantinya. Ini aib? Ah, itu berlebihan tidak seburuk itu, ini mungkin sebuah kesalahan jika aib terlalu kasar. Bahkan suatu hari saya hampir menilai kisah cintanya layaknya kisah Sisifus, cerita dalam mitologi Yunani itu. Saya ikut senang akhirnya sekarang ini dia menemukan juga apa yang dia cari, perempuan yang mungkin benar-benar tepat bagi dirinya, pacarnya sekarang –yang saya tahu masih sering memanggil kak daripada yank itu-. Hehe, maaf kawan.