Bapak Sutara yang terhormat,
Bagaimana kabar Anda hari ini pak? Sehat?
Alhamdulillah, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kemuliaan bagi Bapak.
Ngapunten bapak saya sudah
berani-beraninya bikin tulisan semacam ini.
Sejujur-jujurnya memang kami semua kecewa dengan
hasil Ujikom ini. Kami tidak tahu apakah setiap tahun memang seperti ini atau
hanya angkatan kami yang mengalaminya tahun ini. Seburuk itukah angkatan kami
sehingga kami semua harus mengulang ujian sampai tahap III. Apa memang dalam
ujian kami harus menjawab semua soal dengan benar. Yang kami tahu sebelumnya
kesepakatan nilai minimal adalah 65, atau memang Bapak punya sistem penilaian
sendiri, kami tidak tahu. Mungkin juga ini konsekuensi akreditasi MAB yang A
itu. Apakah benar begitu pak?
Bapak Sutara yang baik, tulisan ini tak bermaksud
apapun. Hanya sebuah tanda tanya besar dalam benak kami. Kami atau saya secara
subjektif tahu jikalau orang yang besar itu bukan orang yang rajin dan pintar
mengulang pelajaran dikemudian hari. Tapi orang yang peka terhadapa lingkungan
sekitar dan dapat menganalisis suatu keadaan lalu mengambil keputusan. Apalagi
kompetensi Program Keahlian ini untuk mencetak seorang wirausaha. Seorang
wirausaha mutlak harus memiliki kemampuan analisis yang mumpuni dengan mempertimbangkan
semua aspek. Jika soal tempo hari nomor 1-6 memang menunjukkan pengulangan
pelajaran biasa -hafalan-. Dan hafalan tidak akan ada artinya jika tidak
membandingkan dengan analisis nyata. Mungkin itu yang Anda harapkan dari kami,
bukan hanya dapat menghapal tetapi juga peka terhadap sebuah kejadian.
Lebih dari itu Bapak Sutara yang baik, saya tak bisa
membayangkan bagi mereka-mereka yang sudah pulang ke kampung halamannya atau
sudah membeli tiket. Ya mungkin itu memang salah mereka sendiri, kenapa
berani-beraninya pulang padahal hasil ujian belum pasti. Tapi ya sesalah-salahnya
orang masa tidak ada dispensasi. Karena manusia itu tempat salah dan hanya
Allah yang sempurna. Bukan maksud untuk menggurui bapak, Maaf bapak ini saya
kutip dari perkataan seorang kawan setelah melihat pengumuman Ujikom tahap II.
Bapak Sutara yang baik, sebenarnya semua ini tidak
menjadi masalah bagi saya secara pribadi. Tapi tampaknya kawan-kawan lain tidak
sependapat dengan saya. Mereka meluapkan kekesalan pada berbagai media sosial.
Ada yang bernada kesal, marah, sebagian lagi bahkan dengan satire menyebut ini sebuah drama yang menegangkan dan
mencengangkan. Tak apalah pak tak usah difikirkan, lagi pula niat Anda mulia,
mengajarkan kami semua bahwa yang kami dapat selama ini belumlah cukup.
Barangkali mereka hanya merasa kecewa yang
berlebihan pak, barangkali mereka hanya merasa layaknya kisah Sisifus itu. Bapak
Sutara yang baik pernah mendengar cerita tentang Sisifus yang dikutuk untuk
mengulingkan batu keatas bukit hanya untuk melihat batunya menggelinding
kebawah. Bapak pernah merasa layaknya Sisifus? Dimana semua usaha yang dia lakukan
hanya untuk kesia-siaan. Ini mungkin yang kami rasakan sekarang dimana belajar
dengan sungguh-sungguh hanya untuk kesia-siaan. Kami sudah berusaha belajar
sebisa mungkin untuk menghadapi ujian ini pak. Pada tahap II kami juga sudah
mencoba memperbaiki jawaban soal yang salah. Benar sekali memang jika dikatakan
bahwa kita belajar untuk kita sendiri, tapi kami perlu tahu nilai kami apakah
memang dibawah standar 65 itu dan bukan hanya maklumat dua lembar didepan
gedung akademik.
Oh ya, disini saya tidak bermaksud untuk mencari
kesalahan Anda kok pak. Barangkali kita memang perlu mencontoh bapak, bapak
Sutara yang masih dengan semangat tanpa keluh kesah mencoba membimbing kami.
Bapak bisa saja meluluskan kami semua dan lalu bersantai-santai dirumah. Tidak
perlu berpikiran ini itu lagi untuk mengurusi kami yang seangkatan ini untuk
ujian-ujian tahap selanjutnya. Tapi itu tidak Bapak lakukan karena tahu bahwa
anak-anak didiknya masih perlu bimbingan sebelum terjun ke masyarakat yang
dalam hal ini adalah PKL. Terimakasih sebelumnya Bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar