Minggu, 17 Mei 2015

Nonaku Sibuk Sendiri

Kepada nona yang sibuk sendiri

Bertanya kabar sudah terlalu usang untuk berbasa-basi, aku tak ingin menjadi klise hari ini. Setelah pitamku naik beberapa kali. Nonaku selalu menenangkanku sesekali membalas dengan pitam yang lain. Kamu tahu emosi itu tak perlu dipendam, ungkapkanlah. Seperti bertahun lalu semenjak kita berjalan di tepian hujan. Menghindari air-air yang menaiki permukaan, berwaspada pada titik air-air hujan agar tidak membasahi baju merahmu. Semestinya kita masih seperti dulu, ada hal-hal kecil yang tampak sederhana tapi layak untuk dikenang seperti kala hujan itu, atau kala hari lain di tengah terik yang meranggas. Kita berteduh disana diantara pohon rimbun, menyeka keringat, memandangi pantai, menunggu siang menua karena matahari begitu ganas di siang itu. Aku ingat waktu itu.

Kepada nona yang (sekarang) sibuk sendiri

Sudah berapa lama kita tak lagi bertegur kecuali lewat alat komunikasi. Kita sudah beranjak dari berbagai masa yang dulu. Sekarang waktu kita tak banyak seperti dulu, kamu sibuk, aku juga (pura-pura) sibuk. Kataku kesibukan ini untuk masa depan kita, kata yang ku anggap sebagai sebuah pembohongan (penenangan). Aku bosan rindu membebaniku, bagai berton pemikiran mengaung-ngaung dikepala hampir disetiap waktu begitu teringat kamu. Jarak adalah sebuah tantangan untuk kita, aku dan kamu sudah mengakrabi ini sejak 3 tahun lalu dan masih terus mengutuk jarak. Berusaha mengabaikan rindu dan hasrat untuk bertemu, berusaha melipatnya untuk kemudian bersama.

Kepada nona yang (seakan) sibuk sendiri

Nonaku aku tahu kamu sibuk dengan tagihan-tagihanmu, aku tahu. Sama tahunya kamu dengan sibuknya aku menghadapi timbunan kerjaan kantor seorang buruh. Dulu aku selalu berkata padamu bahwa aku tidak mau diperbudak oleh orang lain, sebaliknya aku ingin diperbudak prinsipku sendiri. Tapi memang resolusi tak selalu sesuai dengan kenyataan, rupiah belum mengijinkanku untuk itu, mungkin nanti aku bisa seperti harapanku, iya nanti. Aku sibuk merindukanmu di sela kerjaku, kamu sibuk dengan kuliahmu dan tugas akhirmu sambil sesekali sesempatnya mengirimi pesan singkat padaku.

Kepada nona yang (seringnya) sibuk sendiri

Kapan kita ada waktu lagi untuk bercanda tanpa pretensi apapun, bicara tak terlalu muluk-muluk. Bicara tak pandang hirarki dan batas antara kini dan nanti. Inikah konsekuensi dewasa dan tambah usia sebagai seorang manusia. Banyak yang terbuang yang seharusnya dapat termanfaatkan lebih baik. Tidak perlulah menyimpan dendam yang sekeras batu seperti hari lalu, hanya mengotori hati. Kau tahu buat apa aku mencari perempuan lain jika apa yang aku cari dari perempuan sudah aku temukan dalam dirimu. Nonaku aku harap banyak waktu nanti untuk kita bertemu.

Selasa, 03 Februari 2015

Ulasan Film : Life Of Pi





“Tuhan bekerja dengan cara yang misterius” (potongan dialog dari film Life Of Pi)

Saya berhutang inspirasi dari Ang Lee melalui film Life Of Pi. Tentang menjaga kewajaran dalam kehidupan yang tidak adil ini. Banyak film yang telah saya tonton sampai saat ini, namun saya kira tidak ada yang semegah ini. Dari kekuatan cerita maupun pesan yang ingin disiratkan.

Setiap yang kita yakini pasti memiliki cela, dengan berbagai keraguan yang menyelimuti. Seperti juga agama, Pi menganut tiga agama sekaligus. Dilahirkan dan mendapatkan keimanan sebagai seorang hindu, menemukan kasih Tuhan lewat Yesus dan mendapat ketenangan dan kebersamaan dalam Islam. Pi mengalami apa yang pasti dialami oleh perjalanan hidup manusia, keraguan dengan Tuhan.

Manusia berproses untuk menjadi hari ini, tujuannya satu menjadi lebih baik. Seorang yang beranjak dewasa yang mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang apapun, mulai mempelajari dunia dan memberi makna pada sesuatu. Pada sebuah scene terlihat kegundahan hati Pi sambil membaca buku Albert Camus, selalu ada fase dimana kita menganggap hidup sesuatu yang nihil dan tidak punya esensi apa-apa.

Suatu hari Pi beserta keluarganya terpaksa pindah karena dewan kota berhenti mendanai kebun binatang milik mereka. Tujuannya ke Kanada, beserta hewan-hewan di kebun binatang mereka bawa serta. Keraguan iman Pi diuji lebih berat lagi ketika badai menerjang kapal yang ditumpanginya. Pi terjebak dalam sekoci perahu penyelamat bersama seekor harimau bengali dewasa. Berhari-hari, bahkan berbulan Pi terapung di lautan Pasifik bersama hewan itu. Tak pernah terbayangkan ketika ember, jaring, dan sebuah buku paduan bertahan hidup di lautan adalah harta yang paling berharga buat Pi. Ditengah itu Pi sempat bertanya-tanya dan marah kepada Tuhan karena badai yang turun mengombang-ambingkan sekoci lagi hingga nyaris tenggelam. Pi marah kepada Tuhan atas apa yang dilakukan kepadanya. 

Dalam pergulatannya dengan samudra, Pi menemukan palau karnivora penuh meerkat. Pi sempat berharap dapat tinggal selamanya, sebelum menyadari bahwa pulau ini tak bisa ditempati oleh manusia. Segalanya yang diberikan pada siang hari akan diambil lagi pada malam hari oleh pulau ini. Akhirnya Pi melanjutkan pelayarannya dan pergi dari pulau yang tidak ada di peta maupun buku-buku ini.  Sebuah monolog yang dikatakan Pi “ketika tidak ada harapan untuk diselamatkan, Ia (Tuhan) memberiku ketenangan lalu memberiku pertanda untuk melanjutkan perjalananku.”

Dalam kebuntuan-kebuntuan yang seringkali dialami Tuhan selalu bersama menjaga dan mengawasi. Selayaknya kita selalu meyakini bahwa kehidupan kita terbentuk dari pertanyaan dan keraguan-keraguan yang tak pernah terjawab. Sampai pada titiknya semua pergi lalu menghilang, seperti kata Pi “pada akhirnya kita pasti akan melepaskan sesuatu dalam hidup ini.”
 
Setiap orang memiliki ceritanya sendiri dalam menemukan usahanya Tuhan termasuk Pi yang pernah berada pada fase antara hidup dan mati. Film ini didominasi oleh monolog-monolog yang panjang, hampir sepanjang film. Sekalipun begitu tidak membuat film ini menjadi kering dan membosankan. Banyak peristiwa yang harusnya dapat kita ambil hikmahnya. Pada akhirnya bermuara pada keyakinan kita akan Tuhan. Saya ingin seperti Pi yang tidak menyerah dalam keadaan apapun.

Selasa, 02 Desember 2014

Bukan Stensilan Murahan



Judul : Seperti Dendam. Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2014
Penerbit : Gramedia

Ini buku kedua dari Eka Kurniawan yang selesai saya baca bulan November kemarin. Setelah sebelumnya menyelesaikan membaca buku Eka yang lain Lelaki Harimau pada bulan yang sama. Saya membaca buku ini lebih cepat dari membaca Lelaki Harimau, tidak lebih dari tiga hari meski dengan halaman yang lebih banyak. Narasi dan kalimat dalam Seperti Dendam... juga lebih singkat-singkat dan ringan atau remeh temeh saja. Tapi itulah kekuatan Eka, membuat basa-basi yang biasa saja menjadi sebuah lakon yang terlalu sulit untuk tidak diperbincangkan. 

Ide keseluruhan buku ini juga terkesan sangat sederhana jika tidak dikatakan remeh pula. Burung yang tidak bisa berdiri. Burung yang tidak berdiri yang lantas menggiring pada kejadian-kejadian setelahnya. Khas yang dilakukan seperti sebelumnya dalam Lelaki Harimau, alur cerita yang berhamburan dan berantakan, namun kita masih bisa dengan lancar mengikutinya, tanpa harus mengernyitkan dahi dan mengulang membaca. Dalam Seperti Dendam alur maju mundur yang di solek dengan cerdas, rasanya semua mengalir begitu lancar dalam imajinasi, setidaknya itu yang saya rasakan.

Pada suatu malam masalah bermula. Dua orang polisi menyetubuhi seorang perempuan gila, Rona Merah, Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip melalui jendela. Si polisi mengetahui dua bocah itu, Si Tokek berhasil kabur, tapi nahas bagi Ajo Kawir, ia digelandang masuk ke rumah Rona Merah oleh polisi itu. Tak sampai disitu Ajo Kawir dipaksa si polisi menyetubuhi Rona Merah juga, semenjak malam itulah burung Ajo Kawir tak bisa ngaceng, setelah menyaksikan selakangan Rona Merah. Entah karena jijik, gugup atau apa. Setelah burung Ajo Kawir tak bisa lagi berdiri bersama kawannya Si Tokek, Ajo Kawir melakukan segala cara untuk membangunkan si burung, sampai-sampai Iwan Angsa ayah Si Tokek ikut turun tangan membantu Ajo Kawir. Kadang dengan sesuatu yang ekstrim seperti mengoleskan cabai rawit, menyengatkan lebah karena teringat dengan pengobatan dengan metode sengat lebah, dan menyewa pelacur dekat rel kereta. Tentu saja semua itu sia-sia, burung Ajo Kawir terlanjur terlelap dalam tidur. “Tidak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri.” Kata pelacur yang putus asa itu.

Hancur sudah semua masa mudanya tanpa burung yang tak bisa berdiri, masa muda tanpa libido. Masa muda yang kata orang indah itu, menjadi mimpi buruknya. Hal ini membuat Ajo Kawir mengalihkan hari-hari masa mudanya dengan berkelahi. Menantang siapapun. Berbekal nyali, karena kemampuan berkelahinya juga tak bagus-bagus amat. Kadang dengan sengaja mencari gara-gara dengan orang-orang. Hanya untuk pulang babak belur, demikian itu terulang lagi dan lagi.

Suatu kali Ajo Kawir menemukan lawan berduel yang seimbang, seorang perempuan yang sebelumnya diremehkannya, namanya Iteung. Bertarung berjam-jam lalu keduanya terkapar bersama di rerumputan dekat kebun pak Lebe. Tak disangka cinta datang pada saat itu pula, saat keduanya terkapar dan saling pandang satu sama lain. Singkatnya mereka kemudian menikah, dengan burung Ajo Kawir yang tetap dalam dengkuran. Hal yang tak disangka-sangka datang, Iteung hamil entah benih siapa. Mana mungkin burung Ajo Kawir yang tak bisa bangun bisa memberinya benih. Ajo Kawir jelas geram, lalu pergi menjadi supir truk di Jakarta sambil mencari ketenangannya. 

Burung yang tidur justru mengajari Ajo Kawir mengenai kebijaksanaan, “Kehidupan manusia hanyalah impian kemaluan kita. Manusia menjalaninya saja.” Kata Ajo Kawir sekali waktu. Lebih dari itu dalam sunyi dialognya dengan si burung membuat ia memutuskan berhenti berkelahi. Serupa taubatan nasuha seorang pendosa, bahkan ketika keneknya Mono Ompong hampir mati berduel dengan Si Kumbang, Ajo Kawir tetap tenang dengan pandangannya.

Ditengah perjalanan yang melelahkan menjadi supir truk itu, Ajo Kawir bertemu dengan perempuan bernama Jelita. Merupakan ironi Jelita yang sebenarnya adalah buruk wajahnya tak sesuai namanya. Jelita datang serupa penyelamat yang datang terlambat, setelah Ajo Kawir menerima semua keadaannya. Karena akhirnya Jelita lah yang mampu membangunkan si burung yang tidur. Memberi Ajo Kawir kenikmatan bercinta untuk pertama kalinya dan lenyap begitu saja setelah burung Ajo Kawir bangun.

Kesamaan dengan buku Eka yang saya baca sebelumnya ialah tokoh Ajo Kawir dan Margio selalu menegak bir ketika ada masalah. Kata Ajo Kawir “Bir merupakan sahabat bagi semua lelaki sedih.” Dan keduanya memang lelaki pesakitan. Terasing dalam dunianya sendiri. Persamaan lain tentunya alur yang bergerak dengan sangat licin.

Eka menyisipkan humor-humor abu-abu pada buku ini, juga pada Lelaki Harimau. Terkesan sangat elegan. Memang sedikit terlambat saya mengenal karya-karya Eka, saya mengenal belum lama ini, beberapa bulan lalu ketika membaca sebuah review aduhai mengenai buku Lelaki Harimau pada sebuah blog personal. Beberapa waktu setelah merasa cukup uang untuk menebus buku, saya menebusnya. Pertama Lelaki Harimau, tidak mengecewakan, sebarang 15 hari saya membeli Seperti Dendam yang sejatinya telah terbit bulan mei lalu.

Rabu, 10 September 2014

Pentagon

Aku ingin menyelipkan duka dengan kata-kata
Pada setiap gelintir timbunan dendam dan perang
Sebelas september tahun dua ribu satu
Ketika dunia mendadak menjadi silu
Mendadak masam, dan langit kusut muka

Ah, aku tidak sedang berduka padamu Amerika
Aku bersungkawa karena kemanusiaan begitu murah
Sehingga suatu ketika orang-orang menemukan sebuah katarsis
Pada lembaran 20 dolar

Adakah konspirasi adalah sebuah keniscayaan?
Adakah keniscayaan ini berasal dari konspirasi?

Minggu, 06 Juli 2014

Pariwara Capres

Ada satu pernyataan dalam pemasaran yang mengatakan bahwa “Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik dengan produk itu. Tapi produk itu mengigatkanku dengan sesuatu yang berharga bagi saya. Makanya saya membelinya.”.

Ini penting. Sebuah dorongan untuk merubah pikiran seseorang datang dari sebuah iklan atau promosi akan sebuah produk. Dengan kata lain pengaruh iklan begitu vital. Inti utama dan yang pertama tentunya membuat promosi menjadi menarik agar mendapatkan perhatian.

Teknik-teknik dalam marketing ataupun beriklan sudah sangat luas. Saking luasnya cara promosi lama yang salah satunya disebut dengan word of mouth sepertinya sudah tidak menemukan relevansinya lagi. Sudah saya buktikan pada tugas akhir saya pada aspek pemasaran saya memasukkan cara promosi usang ini, nyatanya dicerca habis oleh dosen pembimbing saya. Cara promosi dari mulut ke mulut sudah digantikan perkembangannya dengan sesuatu cara promosi yang lebih terstruktur dan jelas seiring teknologi yang semakin maju.

Berkaitan dengan tahun ini, tahun yang disebut sebagai pesta demokrasi. Cara-cara promosi capres  –kampanye- semakin beragam. Bukan hanya dengan promosi yang sehat, cara yang bisa dibilang agak menyimpang pun tak jarang dihalalkan mereka. Kasus baru-baru ini tentu saja masalah Setyardi Budiono dengan kontroversi majalah Obor Rakyat nya. Pada majalah ini antara fakta ataupun kampanye hitam juga masih terasa blur.

Pikir saya untuk masalah kampanye ini Prabowo lebih unggul, Prabowo pintar menyasar golongan muda dalam promosinya atau dalam hal marketing disebut segmentasi yang ditetapkan Prabowo adalah golongan muda yang bergejolak dan selalu ingin perubahan.

Berkaca dari media yang paling umum seperti media televisi Prabowo membuat iklan memanfaatkan olahraga paling populer di Indonesia yaitu sepakbola, dalam salah satu Prabowo iklan bahkan capres nomor urut satu ini terlihat sedang bermain bola dengan anak-anak. Dengan awalan iklan yang selalu narsis ‘saya Prabowo Subianto’ dan seolah ingin menunjukkan eksistensinya atau memunculkan ingatan dibenak rakyat. Ini juga hal penting dalam marketing saya kira, pengulangan-pengulangan yang berkelanjutan memunculkan stimulasi di benak konsumen yang dalam ingatan dalam jangka panjang. Ini brand image yang coba dimunculkan oleh Prabowo.

Beda dengan Jokowi, capres nomor urut dua ini, jika saya bilang bermain diwilayah promosi yang agak berbeda. Blusukan kini menjadi ciri khas yang membedakan dengan Prabowo, ini menjadi poin plus sendiri dimata rakyat. Rakyat memaknai apa yang dilakukan Jokowi ini sebagai suatu sikap yang pro rakyat. Walaupun memang tidak terlepas dari kampanye dimedia televisi. Iklan Jokowi lebih menegaskan kesederhanaan yang menjadi citra dirinya saat ini.

Pesta demokrasi tahun ini memang sangat berbeda, beberapa pihak yang dulu anti politis juga apatis, justru tak segan menunjukkan pilihan mereka. Hal ini sangat erat dalam kampanye yang dilakukan oleh capres yang mencalonkan diri. Saya kira visi misi kedua calon tetaplah seragam dan terkesan biasa saja. Ada beberapa poin yang saya kira mengarah ke ambiguitas malahan.

Selasa, 10 Juni 2014

Gumaman Seorang Mahasiswa Tingkat Akhir Manajemen Agribisnis

Kajian bidang pertanian di negeri ini memang bukanlah hal yang baru, malah saking lamanya masyarakat sudah bosan menggelutinya. Berangkat dari kondisi bertani yang cenderung tidak banyak mengubah hidup mereka. Masyarakat desa beramai-ramai menjadi masyarakat urban, dengan harapan yang tak muluk-muluk, agar merubah hidup mereka, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, kaya dengan lebih cepat.

Ah, itu hanya anggapan sarkastik mahasiswa jurusan Manajemen Agrbisnis yang sudah digembleng agar mencintai bidang pertanian, walaupun akhirnya memilih bekerja di bank atau di perusahaan swasta lain. Menjadi budak untuk orang lain, dan dengan nyaman mengikuti arus dunia global dengan gadget dan alat elektronik terbaru. Menjadi manusia apatis yang cenderung individualis. Mungkin juga akan menghamburkan uang diawal bulan, lalu kesulitan memenuhi kebutuhan diakhir bulan. Siklus gali lubang tutup lubang yang terlalu klise bagi masyarakat menengah yang bekerja di perusahaan-perusahaan di ibukota.

Itu yang terjadi pada sebagian besar angkatan diatas saya pada jurusan ini, alih-alih mendirikan sebuah bisnis. Malahan mereka dengan kesadaran penuh memilih untuk bekerja pada orang lain. Sebuah anomali sebenarnya jika kita berkaca kembali pada esensi awal tujuan lulusan Manajemen Agribisnis yang diharapkan, yaitu adalah untuk mencetak pengusaha muda khususnya dibidang agribisnis. Saya tidak bermaksud menyalahkan mereka, karena begitulah yang terjadi di negara ini, salah jurusan itu biasa, bekerja di bidang yang kontradiktif (mungkin) juga menjadi sangat biasa.

Bagi saya yang mahasiswa tingkat akhir ini tentu saja banyak menggalau dengan intensitas yang sama dengan kakak kelas dulu tentang masa depannya. Yah, dengan ilmu yang bisa dibilang kepalang tanggung ini kita harus menghadapi apa yang disebut sebagai dunia dan hidup. Jika nantinya di masyarakat saya ditanyai ‘dulu kamu kuliah kenapa mengambil Manajemen Agribisnis?’ ‘Apa yang kamu dapat dari sana?’ atau mungkin yang lain ketika saya dimintai saran oleh petani tentang bagaimana menanam jagung yang benar atau seberapa takaran pupuk yang paling baik untuk tanaman padinya. Mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan itu saya akan tergagap untuk menjawabnya.

Apa yang harus kita yakini hari ini? Menjadi manusia yang puas bekerja untuk orang lain atau menjadi mandiri seperti harapan program keahlian Manajemen Agribisnis, atau mungkin menjalani keduanya.

Keadaan di negeri yang kita tinggali ini seharusnya mengajarkan kita untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kalian mau Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara agraris itu tinggal dongeng? Kenapa harus malu menjadi petani? Saya tidak sedang berbicara tentang petani dalam konteks yang sangat sempit seperti macul, tandur. Dan jika itupun yang kalian pikirkan, saya kira pekerjaan itu masih lebih mulia daripada menjadi kacung di perusahaan-perusahaan multinasional.

Renungilah ini kawan-kawan Manajemen Agribisnis. 

Minggu, 25 Mei 2014

Ketika Hukum Sudah Tidak Relevan


Bagaimana sebuah hukum dibuat? Melalui metode empiris atau dalam setahapan pemikiran logis dari filsafat yang berfikir keras mengenai hukum itu sendiri. Bagaimana semua itu dijalankan? Dengan segala jenis pemaksaan dan pelarangan? Apalah yang kita lakukan untuk menghadapinya? Mentaati atau dengan keterpaksaan berusaha untuk tidak melanggar apapun yang tertulis dalam sebuah bentuk aturan yang (mungkin) tak pernah kita setujui.

Berhari yang lalu saya sempat menonton film besutan John Hilcoat, Lawless yang berkisah tentang 3 bersaudara yang menjual minuman keras secara ilegal, undang-undang yang ditetapkan pada saat itu adalah melarang bisnis seperti ini. Sebagai gantinya Bondurant harus membayar sejumlah uang untuk uang tutup mulut kepada penegak hukum. Forrest Bondurant si pemimpin keluarga menolak membayar sejumlah uang itu. Pada akhirnya keluarga mereka mendapatkan teror, ancaman kematian, dan percobaan pembunuhan oleh orang bayaran.

Suatu malam 2 orang tak dikenal menggorok leher Forrest, dia hampir mati jika tidak diselamatkan oleh Maggie, perempuan yang bekerja untuk Bondurant yang membuat Forrest jatuh cinta padanya. Malam itu Maggie menemukan Forrest tergeletak di halaman bersimpah darah dan kemudian membawanya ke rumah sakit. Namun Maggie tidak menceritakan hal yang sebenarnya, dia mengarang cerita bahwa Forrest sendiri yang berjalan ke rumah sakit sejauh 20 mil dalam kondisi sekarat, hal ini dia lakukan untuk menjaga mitos yang selama ini berkembang. Bahwa Forrest Bondurant adalah seorang yang tidak bisa ditaklukkan, dia tidak bisa mati. Hal lain yang tak diceritakan Maggie bahwasanya dia telah diperkosa 2 orang yang mencoba membunuh Forrest.

Keluarga Bondurant adalah sebuah representasi dari sebuah keluarga yang tidak mau diperbudak orang lain. Mereka memilih untuk diperbudak prinsipnya sendiri, bahkan dengan segala resiko yang mereka terima. Konsekuensi dalam menjaga cara lama yang sudah mereka jalankan bertahun-tahun, menetang kotornya sebuah sistem dan menjadikan pemberontakan sebagai usaha untuk mencabut perlindungan hukum.

Si bungsu dari keluarga Bondurant, Jack yang dianggap paling lemah akhirnya berhasil menjalin bisnis dengan gangster Floyd Banner, dari Floyd Banner pula Jack mendapatkan alamat orang yang berusaha membunuh Forest. Sejak saat itu Jack berubah menjadi seorang ekshibisionis karena jatuh cinta pada seorang wanita bernama Bertha. 

Deputi Charlie Rakes orang yang selama ini ada dibalik penyerangan-penyerangan yang terjadi ke keluarga Bondurant, membuntuti Jack dan Bertha saat mereka menuju Still (alat yang digunakan untuk membuat minuman keras). Tempat Still ini tersembunyi di dalam hutan dan tak banyak orang yang tahu. Itulah sebabnya Rakes selama ini tak menemukan tempat ini, hingga mereka membuntuti Jack dan Bertha. Sempat terjadi baku tembak disana, sebelum akhirnya petugas hukum meledakkan still itu. Cricket Pete yang merupakan pembuat wiski terbaik mereka, tewas dibunuh oleh Rakes.

Jack menyimpan dendam yang besar karena kematian Pete. Pada akhir cerita terjadi baku tembak di perbatasan, tetapi para sheriff akhirnya malah berbalik membela keluarga Bondurant karena kesombongan Rakes. Rakes tewas ditembak Jack. Setelah hari itu larangan UU dihapus dan mengakhiri konspirasi besar yang terjadi.