Aku ingin membagi sebuah cerita kepada kalian, mengenai
seorang pangeran dari negeri Nisada. Dia adalah Bambang Ekalaya. Dalam sebuah
cerita dikisahkan bahwa Bambang Ekalaya hendak memperdalam ilmu memanahnya,
datanglah dia ke Hastina untuk menemui Resi Drona yang hendak ia jadikan guru.
Namun keinginan itu ditolak oleh Resi Drona dengan alasan Resi Drona hanya akan
menerima murid dari Hastina. Tetapi Bambang Ekalaya tak patah arang, kemudian
di tengah perkemahannya dia membuat patung yang mirip dengan Resi Drona yang
setia dia sembah dan puja setiap harinya. Dia juga kadang mengintip ketika Resi
Drona mengajari murid-muridnya.
Suatu ketika ada sebuah pertandingan memanah, Bambang
Ekalaya ternyata mengungguli Arjuna bahkan lebih sakti daripada Arjuna. Bambang
Ekalaya juga menguasai ilmu memanah Danurweda yang terkenal sulit untuk
dikuasai itu.Para Korawa kemudian bertanya siapa guru dari Bambang Ekalaya.
Bambang Ekalaya menjawab bahwa gurunya adalah Resi Drona. Selepas itu para
Korawa datang kepada Prabu Drestarata, ayah dari para Korawa. Prabu Drestarata
kemudian memangil dan berbicara kepada Resi Drona perihal janjinya untuk tidak
mengajarkan ilmu utama itu kepada Ksatria dari negara lain. Resi Drona bingung
dengan kenyataan ini, dan meminta waktu untuk mendapatkan jawabannya. Karena
dia sama sekali tidak pernah merasa mengangkat murid dari negara lain. Akhirnya
dibuntutilah Bambang Ekalaya, sampai ke tempatnya berlatih. Dia terkejut
melihat patung dirinya, berdiri tegak di tengah-tengah sanggar pemujaan Sang
Ksatria utama. Bambang Ekalaya tengah khusuk, berdoa dihadapan patung dirinya
itu. Lalu disapalah Bambang Ekalaya oleh Resi Drona.
Bambang Ekalaya terkejut mendengar suara yang sangat
dikaguminya itu, dengan setengah tidak percaya, dia melihat Resi Drona berdiri
di hadapannya. Sambil menyembah Bambang Ekalaya berkata “Guru yang hamba puja
dan hormati, ada apakah gerangan engkau datang ke tempat hamba yang hina ini”.
“Terimalah sembah sujud hamba kepadamu”.
Lalu Guru Drona bertanya, segala yang terjadi selama ini.
Dengan penuh hormat, Bambang Ekalaya menceritakan perjalanannya meraih ilmu
dengan cara belajar sendiri dan memuja patung Resi Drona untuk mendapatkan
restu dari Sang Guru. Resi Drona terharu mendengar penuturan dari Bambang
Ekalaya. Dia sadar, bahwa kemampuan sang murid dalam belajar sendiri sangat
luar biasa. Hanya dengan rasa bhakti terhadap guru, walau tanpa diajar
langsung, dia dapat menguasai ilmu Danurweda yang terkenal sangat sulit untuk
dipelajari itu.
Mendengar penjelasan itu, Resi Drona gundah melihat
kenyataan yang dia hadapi. Melihat kesedihan dari roman muka Sang Guru, lalu
Bambang Ekalaya bertanya, ada apa gerangan, sehingga menjadi berduka seperti
itu. Sang Guru berkata, “Bambang Ekalaya anakku, aku terharu akan usahamu dalam
melaksanakan swadhyaya atau belajar sendiri. Engkau mampu menguasi ilmu
Danurweda yang sangat sulit ini, yang bahkan akupun belajar dengan guruku
selama bertahun-tahun. Sedangkan ananda dapat menguasainya dalam waktu singkat
dan sangat sempurna, hanya dengan rasa bhakti. Namun aku sekarang berada dalam
posisi sangat sulit, dan ini tidak sama sekali karena kesalahanmu. Aku pernah
berjanji kepada Prabu Drestarata, untuk tidak mengangkat murid selain dari
keluarga Hastina. Dan akibat ulah dari pada Korawa setelah kalah perang tanding
denganmu, maka aku dituduh berkhianat terhadap janji yang telah aku ucapkan
sendiri. Sedangkan menepati janji adalah kewajiban utama bagi seorang Brahmana.
Mungkin ini memang sudah jalanku, sehingga aku tidak bisa melanjutkan
cita-citaku sejak lama untuk menjadi Brahmana Kerajaan. Tapi aku sangat bangga
kepadamu Bambang Ekalaya. Engkau akan menjadi contoh bagi generasi muda, yang
tidak cengeng, dan mampu mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.”
Bambang Ekalaya menangis dan bersujud kepada Resi Drona,
meminta maaf atas kelakuannya yang telah menyusahkan hati Sang Guru yang sangat
dia hormati. Seraya berkata, apa yang dia dapat dilakukan untuk menebus
kesalahannya. Resi Drona kembali berkata, bahwa ini bukanlah kesalahan dari
Bambang Ekalaya. Namun ini hanya karena takdir. Namun Bambang Ekalaya
bersikukuh dengan pendirian, bahkan mau mengorbankan nyawa demi Guru yang dia
cintai.
Akhirnya setelah lama berdialog, Bambang Ekalaya berjanji
untuk tidak menggunakan ilmu Danurweda tersebut, sebagai buktinya dia merelakan
ibu jari tangan kanannya dipotong, sehingga tidak bisa memanah lagi. Serta
merta, Bambang Ekalaya memotong ibu jari tangannya dan dengan rasa hormat, di
persembahkanlah ibu jari itu kepada Resi Drona yang sangat dia hormati.
Maka terkejutlah Resi Drona terhadap pengorbanan dari
Bambang Ekalaya, dengan menangis haru, Resi Drona memberikan restu dan
mendoakan Bambang Ekalaya, kelak menjadi Ksatria dan Raja Utama. Dengan rasa
hormat dan terima kasih, Bambang Ekalaya memeluk kaki Sang Guru, seraya mohon
pamit untuk kembali ke negaranya. Lalu mereka berpisah, dan Resi Drona kembali
ke Hastina dan menceritakan kepada Prabu Drestarata tentang hal yang terjadi.
Akhirnya Guru Drona tetap menjadi Brahmana Kerajaan di Hastina, sedangkan
Bambang Ekalaya menggantikan ayahnya menjadi Raja di negara Nisada.
***
Apa yang dapat kita petik dari cerita tersebut, adalah rasa
hormat kepada seorang guru. Selama ini banyak dari kita telah menganggap guru
sebagai seorang yang tak lebih dari penceramah biasa. Yang memberikan ilmu
pasti, memarahi bila kita salah dalam mengerjakan soal. Hanya itu yang kita
ingat dari sosok seorang guru. Bahkan kadang kita membenci mereka, karena suatu alasan.
Saya juga pernah mengalami kebencian seperti itu kepada
seorang guru, sampai bertahun-tahun saya mendendam kepadanya. Sampai akhirnya
Bambang Ekalaya membuka mata bahwa tidakkah kita mencoba berfikir untuk lebih
dalam mengetahui guru bukan semata memberi pendidikan secara formal, namun juga
mencoba membentuk sikap kita ke arah yang baik tentunya.
Dalam kenyataannya kita menghamba ilmu atau mungkin
pengalaman kepada mereka. Seperti cerita Bambang tersebut walaupun dia tidak
diajar oleh langsung oleh Resi Drona tetapi kemampuannya melebihi murid Resi
Drona yang diajarnya secara langsung. Bambang telah mengajari kita bahwa
belajar sendiri dengan upaya yang sungguh-sungguh, dapat menghasilkan kemampuan
sama bahkan lebih baik, daripada murid yang berguru secara langsung. Kemudian
tentang rasa baktinya kepada seorang guru yang luar biasa. Yang tentunya sudah
jarang kita dapati di ranah pendidikan hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar