Sabtu, 29 Maret 2014

Meneladani Bambang Ekalaya

Aku ingin membagi sebuah cerita kepada kalian, mengenai seorang pangeran dari negeri Nisada. Dia adalah Bambang Ekalaya. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa Bambang Ekalaya hendak memperdalam ilmu memanahnya, datanglah dia ke Hastina untuk menemui Resi Drona yang hendak ia jadikan guru. Namun keinginan itu ditolak oleh Resi Drona dengan alasan Resi Drona hanya akan menerima murid dari Hastina. Tetapi Bambang Ekalaya tak patah arang, kemudian di tengah perkemahannya dia membuat patung yang mirip dengan Resi Drona yang setia dia sembah dan puja setiap harinya. Dia juga kadang mengintip ketika Resi Drona mengajari murid-muridnya.

Suatu ketika ada sebuah pertandingan memanah, Bambang Ekalaya ternyata mengungguli Arjuna bahkan lebih sakti daripada Arjuna. Bambang Ekalaya juga menguasai ilmu memanah Danurweda yang terkenal sulit untuk dikuasai itu.Para Korawa kemudian bertanya siapa guru dari Bambang Ekalaya. Bambang Ekalaya menjawab bahwa gurunya adalah Resi Drona. Selepas itu para Korawa datang kepada Prabu Drestarata, ayah dari para Korawa. Prabu Drestarata kemudian memangil dan berbicara kepada Resi Drona perihal janjinya untuk tidak mengajarkan ilmu utama itu kepada Ksatria dari negara lain. Resi Drona bingung dengan kenyataan ini, dan meminta waktu untuk mendapatkan jawabannya. Karena dia sama sekali tidak pernah merasa mengangkat murid dari negara lain. Akhirnya dibuntutilah Bambang Ekalaya, sampai ke tempatnya berlatih. Dia terkejut melihat patung dirinya, berdiri tegak di tengah-tengah sanggar pemujaan Sang Ksatria utama. Bambang Ekalaya tengah khusuk, berdoa dihadapan patung dirinya itu. Lalu disapalah Bambang Ekalaya oleh Resi Drona.

Bambang Ekalaya terkejut mendengar suara yang sangat dikaguminya itu, dengan setengah tidak percaya, dia melihat Resi Drona berdiri di hadapannya. Sambil menyembah Bambang Ekalaya berkata “Guru yang hamba puja dan hormati, ada apakah gerangan engkau datang ke tempat hamba yang hina ini”. “Terimalah sembah sujud hamba kepadamu”.

Lalu Guru Drona bertanya, segala yang terjadi selama ini. Dengan penuh hormat, Bambang Ekalaya menceritakan perjalanannya meraih ilmu dengan cara belajar sendiri dan memuja patung Resi Drona untuk mendapatkan restu dari Sang Guru. Resi Drona terharu mendengar penuturan dari Bambang Ekalaya. Dia sadar, bahwa kemampuan sang murid dalam belajar sendiri sangat luar biasa. Hanya dengan rasa bhakti terhadap guru, walau tanpa diajar langsung, dia dapat menguasai ilmu Danurweda yang terkenal sangat sulit untuk dipelajari itu.

Mendengar penjelasan itu, Resi Drona gundah melihat kenyataan yang dia hadapi. Melihat kesedihan dari roman muka Sang Guru, lalu Bambang Ekalaya bertanya, ada apa gerangan, sehingga menjadi berduka seperti itu. Sang Guru berkata, “Bambang Ekalaya anakku, aku terharu akan usahamu dalam melaksanakan swadhyaya atau belajar sendiri. Engkau mampu menguasi ilmu Danurweda yang sangat sulit ini, yang bahkan akupun belajar dengan guruku selama bertahun-tahun. Sedangkan ananda dapat menguasainya dalam waktu singkat dan sangat sempurna, hanya dengan rasa bhakti. Namun aku sekarang berada dalam posisi sangat sulit, dan ini tidak sama sekali karena kesalahanmu. Aku pernah berjanji kepada Prabu Drestarata, untuk tidak mengangkat murid selain dari keluarga Hastina. Dan akibat ulah dari pada Korawa setelah kalah perang tanding denganmu, maka aku dituduh berkhianat terhadap janji yang telah aku ucapkan sendiri. Sedangkan menepati janji adalah kewajiban utama bagi seorang Brahmana. Mungkin ini memang sudah jalanku, sehingga aku tidak bisa melanjutkan cita-citaku sejak lama untuk menjadi Brahmana Kerajaan. Tapi aku sangat bangga kepadamu Bambang Ekalaya. Engkau akan menjadi contoh bagi generasi muda, yang tidak cengeng, dan mampu mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.”

Bambang Ekalaya menangis dan bersujud kepada Resi Drona, meminta maaf atas kelakuannya yang telah menyusahkan hati Sang Guru yang sangat dia hormati. Seraya berkata, apa yang dia dapat dilakukan untuk menebus kesalahannya. Resi Drona kembali berkata, bahwa ini bukanlah kesalahan dari Bambang Ekalaya. Namun ini hanya karena takdir. Namun Bambang Ekalaya bersikukuh dengan pendirian, bahkan mau mengorbankan nyawa demi Guru yang dia cintai.

Akhirnya setelah lama berdialog, Bambang Ekalaya berjanji untuk tidak menggunakan ilmu Danurweda tersebut, sebagai buktinya dia merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong, sehingga tidak bisa memanah lagi. Serta merta, Bambang Ekalaya memotong ibu jari tangannya dan dengan rasa hormat, di persembahkanlah ibu jari itu kepada Resi Drona yang sangat dia hormati.

Maka terkejutlah Resi Drona terhadap pengorbanan dari Bambang Ekalaya, dengan menangis haru, Resi Drona memberikan restu dan mendoakan Bambang Ekalaya, kelak menjadi Ksatria dan Raja Utama. Dengan rasa hormat dan terima kasih, Bambang Ekalaya memeluk kaki Sang Guru, seraya mohon pamit untuk kembali ke negaranya. Lalu mereka berpisah, dan Resi Drona kembali ke Hastina dan menceritakan kepada Prabu Drestarata tentang hal yang terjadi. Akhirnya Guru Drona tetap menjadi Brahmana Kerajaan di Hastina, sedangkan Bambang Ekalaya menggantikan ayahnya menjadi Raja di negara Nisada.
                                                                    ***
Apa yang dapat kita petik dari cerita tersebut, adalah rasa hormat kepada seorang guru. Selama ini banyak dari kita telah menganggap guru sebagai seorang yang tak lebih dari penceramah biasa. Yang memberikan ilmu pasti, memarahi bila kita salah dalam mengerjakan soal. Hanya itu yang kita ingat dari sosok seorang guru. Bahkan kadang kita membenci mereka,  karena suatu alasan.

Saya juga pernah mengalami kebencian seperti itu kepada seorang guru, sampai bertahun-tahun saya mendendam kepadanya. Sampai akhirnya Bambang Ekalaya membuka mata bahwa tidakkah kita mencoba berfikir untuk lebih dalam mengetahui guru bukan semata memberi pendidikan secara formal, namun juga mencoba membentuk sikap kita ke arah yang baik tentunya.

Dalam kenyataannya kita menghamba ilmu atau mungkin pengalaman kepada mereka. Seperti cerita Bambang tersebut walaupun dia tidak diajar oleh langsung oleh Resi Drona tetapi kemampuannya melebihi murid Resi Drona yang diajarnya secara langsung. Bambang telah mengajari kita bahwa belajar sendiri dengan upaya yang sungguh-sungguh, dapat menghasilkan kemampuan sama bahkan lebih baik, daripada murid yang berguru secara langsung. Kemudian tentang rasa baktinya kepada seorang guru yang luar biasa. Yang tentunya sudah jarang kita dapati di ranah pendidikan hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar