Sebenarnya saya malas untuk menulis lagi tentang review
seperti ini. Ya, saya sudah banyak mencoba menulis review seperti ini, hasilnya cukup monoton dan membosankan, selain itu kadang
sesuatu yang saya rasakan tak bisa untuk sekedar diungkapkan dengan tulisan
ataupun kata. Kadang saya merasa bahasa terlalu sempit untuk bisa mewakili kenyataan
sebenarnya. Tetapi ini mungkin terasa seperti hutang jika saya tidak membuat
review tentang band luar biasa asal Palembang, Semakbelukar. Saya ingat bahwa
tujuan saya menulis adalah untuk menghindari kelupaan tentang apapun.
Setidaknya ini layak ditulis karena sudah mengubah pandangan saya tentang suatu
hal.
Sebelumnya saya tak pernah suka dengan aliran musik melayu.
Alasannya memang terlalu dangkal saat itu untuk menilai musik melayu dari media
yang mengecap band-band yang beredar
dipasaran, yang memenuhi layar kaca setiap pagi di acara musik, yang telah
membuat citra musik melayu bagi saya menjadi buruk. Band-band melayu mainstream
yang seragam dan cengeng adalah sebuah
keboborokan yang dipelihara. Dan Semakbelukar adalah sebuah anomali mungkin,
jika mungkin melayu yang sejati itu relatif bagi setiap orang. Semakbelukar
adalah sebuah penawar dari semua itu, semacam relevation yang pas diujung senja
tiba dan keheningan beranjak.
Bagi saya mereka cukup bangsat untuk sebuah band yang mulai
dikenal, malah kemudian mereka memutuskan untuk bubar. Entahlah apapun alasan mereka dalam keputusan
ini, yang jelas mereka telah membuat banyak orang kecewa dan bertanya-tanya. Kenapa
harus bubar sekarang.
Saya banyak menangkap lirik lagu mereka adalah merujuk
kepada kritik sosial. Kritik sosial yang dikemas dengan luar biasa dan cadas.
Lewat metafora-metafora kata yang saya yakin dibutuhkan waktu dan proses
kreatif yang mumpuni sebagai sebuah pemberontakan. Semakbelukar memang eksotis,
secara visual saja melihat alat musik musik yang mereka gunakan adalah
terlampau sederhana. Siapa sangka gong kecil yang banyak dipakai tukang es
keliling ini adalah bagian dari musik mereka.
Ketika David Hersya mulai melantunkan suara, saya pun luruh
merendah menikmati lantunan yang lebih mirip muadzin saat adzan ini. pada lagu
Kalimat Satu yang dimulai dengan permainan akordeon lalu dentuman gendang yang
teratur. Ketika kita sudah bosan dengan musik yang ada saat ini, Semakbelukar
adalah kesempatan yang bagus untuk Anda menikmati dendang ringan yang
mendayu-dayu. Mereka sama sekali tidak terlihat njlimet dan berskill tinggi. Cukup
sederhana untuk sebuah band, kesederhanaan yang justru mungkin saja bisa memunculkan
sesuatu yang lebih rumit jika kita menyimak mereka dengan lebih dalam.
Kalian tahu bahwa tampilan luar selalu menipu kan? Semakbelukar
memang terlihat biasa-biasa saja. Sebelum saya menemukan bahwa ada sesuatu yang
menarik dari band ini. Pada saat semua manusia bisa dibilang menuju ke arah
yang semakin modern. Mereka malah memilih hal yang sangat kuno dan tradisional,
dan mungkin ini yang luput dari kita. Ternyata sesuatu yang kuno itu terasa
lebih modern dari apa yang disebut modern itu sendiri.
Namun, saya juga tidak begitu yakin itu satu-satunya alasan,
barangkali sebagian dari kita hanya sedang bosan dengan musik saat ini yang
sudah terlampau biasa untuk telinga kita
dan kita sekedar mencari alternatif lain dalam rangka pelarian untuk membunuh
kebosanan itu. Saya tidak tahu, setidaknya itu adalah hal yang masih abu-abu. Saya
memang belum yakin bahwa mendengarkan Semakbelukar adalah sebuah pengalaman
religius, saya belum yakin. Entahlah setidaknya saya selalu punya waktu
menikmati dendang mereka lewat earphone yang terpasang dilaptop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar