Minggu, 23 Maret 2014

Dendang Maut Belukaria Orkestar


Sebenarnya saya malas untuk menulis lagi tentang review seperti ini. Ya, saya sudah banyak mencoba menulis review seperti ini, hasilnya cukup monoton dan membosankan, selain itu kadang sesuatu yang saya rasakan tak bisa untuk sekedar diungkapkan dengan tulisan ataupun kata. Kadang saya merasa bahasa terlalu sempit untuk bisa mewakili kenyataan sebenarnya. Tetapi ini mungkin terasa seperti hutang jika saya tidak membuat review tentang band luar biasa asal Palembang, Semakbelukar. Saya ingat bahwa tujuan saya menulis adalah untuk menghindari kelupaan tentang apapun. Setidaknya ini layak ditulis karena sudah mengubah pandangan saya tentang suatu hal.

Sebelumnya saya tak pernah suka dengan aliran musik melayu. Alasannya memang terlalu dangkal saat itu untuk menilai musik melayu dari media yang mengecap band-band  yang beredar dipasaran, yang memenuhi layar kaca setiap pagi di acara musik, yang telah membuat citra musik melayu bagi saya menjadi buruk. Band-band melayu mainstream yang seragam dan cengeng  adalah sebuah keboborokan yang dipelihara. Dan Semakbelukar adalah sebuah anomali mungkin, jika mungkin melayu yang sejati itu relatif bagi setiap orang. Semakbelukar adalah sebuah penawar dari semua itu, semacam relevation yang pas diujung senja tiba dan keheningan beranjak.

Bagi saya mereka cukup bangsat untuk sebuah band yang mulai dikenal, malah kemudian mereka memutuskan untuk bubar.  Entahlah apapun alasan mereka dalam keputusan ini, yang jelas mereka telah membuat banyak orang kecewa dan bertanya-tanya. Kenapa harus bubar sekarang.

Saya banyak menangkap lirik lagu mereka adalah merujuk kepada kritik sosial. Kritik sosial yang dikemas dengan luar biasa dan cadas. Lewat metafora-metafora kata yang saya yakin dibutuhkan waktu dan proses kreatif yang mumpuni sebagai sebuah pemberontakan. Semakbelukar memang eksotis, secara visual saja melihat alat musik musik yang mereka gunakan adalah terlampau sederhana. Siapa sangka gong kecil yang banyak dipakai tukang es keliling ini adalah bagian dari musik mereka.

Ketika David Hersya mulai melantunkan suara, saya pun luruh merendah menikmati lantunan yang lebih mirip muadzin saat adzan ini. pada lagu Kalimat Satu yang dimulai dengan permainan akordeon lalu dentuman gendang yang teratur. Ketika kita sudah bosan dengan musik yang ada saat ini, Semakbelukar adalah kesempatan yang bagus untuk Anda menikmati dendang ringan yang mendayu-dayu. Mereka sama sekali tidak terlihat njlimet dan berskill tinggi. Cukup sederhana untuk sebuah band, kesederhanaan yang justru mungkin saja bisa memunculkan sesuatu yang lebih rumit jika kita menyimak mereka dengan lebih dalam.

Kalian tahu bahwa tampilan luar selalu menipu kan? Semakbelukar memang terlihat biasa-biasa saja. Sebelum saya menemukan bahwa ada sesuatu yang menarik dari band ini. Pada saat semua manusia bisa dibilang menuju ke arah yang semakin modern. Mereka malah memilih hal yang sangat kuno dan tradisional, dan mungkin ini yang luput dari kita. Ternyata sesuatu yang kuno itu terasa lebih modern dari apa yang disebut modern itu sendiri.

Namun, saya juga tidak begitu yakin itu satu-satunya alasan, barangkali sebagian dari kita hanya sedang bosan dengan musik saat ini yang sudah terlampau  biasa untuk telinga kita dan kita sekedar mencari alternatif lain dalam rangka pelarian untuk membunuh kebosanan itu. Saya tidak tahu, setidaknya itu adalah hal yang masih abu-abu. Saya memang belum yakin bahwa mendengarkan Semakbelukar adalah sebuah pengalaman religius, saya belum yakin. Entahlah setidaknya saya selalu punya waktu menikmati dendang mereka lewat earphone yang terpasang dilaptop. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar