Kadang beberapa orang bertanya mengapa saya menulis tentang
musik, mengapa hal seremeh lantunan nada itu mesti ditulis atau mungkin
dimaknai. Apa gunanya? mereka juga menyarankan untuk menulis yang lebih penting
daripada sekedar memaknai sebuah bebunyian.
Saya hanya berkata ‘terimakasih atas sarannya’. Taufiq
Rahman dalam sebuah esai yang berjudul Menulis
Musik adalah Menulis Tentang Manusia mengatakan bahwa Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk
meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang
berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya
menulis tentang manusia. Ya pada akhirnya menulis musik adalah menulis
tentang hal-hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan manusia dan menulis tentang
musik yang dimaksud bukan hanya tentang memperkirakan suara yang
diperdengarkan.
Banyak yang menulis tentang musik jauh ke dalam
interpretasinya terhadap sebuah karya seni. Saya juga tak pernah mengenyam
sekolah musik, saya tidak pernah mengerti tentang teknik legato, bending, atau
juga sweep picking. Saya hanya
menulis musik dengan label sebagai ‘penikmat’.
Saya memutuskan berhenti mendengarkan musik-musik arus utama
setelah saya menyadari tak akan banyak yang saya dapat dari sana. Sebelum saya
menyadari bahwa kualitas sebuah karya dihasilkan dari sebuah proses yang tidak
biasa yang melatarbelakanginya. Saya lebih tertarik dengan sesuatu diluar
sebuah karya itu dibuat, daripada harus mendengarkan karya yang dibidik karena
memenuhi permintaan pasar atau karena keperluan kontrak.
Konsekuensinya saya lebih suka dengan hal-hal yang terjadi
dibalik layar. Lebih suka mengait-ngaitkan sebuah karya dengan sesuatu yang
lain. Lebih banyak berkomentar tentang mungkin saja sebuah lagu bisa menjadi
soundtrack dalam sebuah aksi sosial atau juga sebuah lagu protes sosial.
Daripada sekedar membahas teknik vokal sang penyanyi atau apakah gitarisnya
menggunakan teknik bla bla bla dalam lagunya. Saya yakin musik yang bagus
dihasilkan dengan sebuah proses kreatif, dan bukan karena dalam rangka memenuhi
selera masyarakat. Musisilah yang harusnya membentuk selera itu. Musik bukan sesederhana
teori bisnis yang hanya berfokus untuk memuaskan pelanggan.
Dulu saya tinggal di daerah pinggiran sehingga tak banyak
akses untuk musik. Hanya musik-musik mainstream yang banyak terdengar di gadget-gadget kawan-kawan yang berbagi
musik melalui piranti bluetooth. Dulu di tangkringan kawan-kawan hanya musik
reggae yang menjadi sebuah warna tersendiri yang kadang membuang kebosanan
tentang hidup yang cinta-cintaan. Sehingga saat ini setiap ada senggang kuliah
saya memanfaatkan untuk mencari musik-musik, hanya saja tidak jauh-jauh dari
kampus dan juga banyak mendengar musik dari berbagai negara. Saya mendengar
musik asing dari yang asing yang tak pernah terbayangkan.
Pengaruh dalam beberapa musik juga lah yang sedikit banyak
membuat saya selanjutnya berkawan baik dengan buku. Mendorong untuk menulis. Karya
seni itu bisa dimaknai oleh pendengarnya dengan sangat beragam. Jadi saya pikir
kenapa saya tak melanjutkannya untuk menulis. Walaupun itu personal dan hanya
saya rasakan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar