Minggu, 20 April 2014

Merumitkan Tulus


Saya selalu suka dengan kesederhanaan. Saya selalu suka menebak-nebak sesuatu dengan perasaan. Termasuk ketika pertama kali melihat cover album dari Tulus pada album barunya yang diberi tajuk Gajah. Menurut saya ini pasti adalah musik yang keren, covernya saja estetik. Backgroud hitam sesosok wajah yang terpotret dari samping dan tulisan Tulus dengan huruf biasa-biasa saja dengan penempatan yang juga biasa.

Kali ini saya tak salah, Tulus secara singkat membawa saya pada hal yang belum sempat saya lakukan, yaitu memberi waktu musik genre jazz untuk lebih lama terdengar ditelinga. Saya dulu jarang sekali mendengar lagu-lagu dari musisi jazz karena saya pikir musik ini sudah habis. Tidak kali ini, Tulus rasanya telah membuka jiwa saya untuk lebih banyak mendengar lagi. Album ini seperti menggenapi tagihan diri saya sendiri terhadap musik jenis ini.

Secara singkat lagu-lagu dari Tulus menceritakan cerita sehari-hari. Cerita sehari-hari yang terlalu biasa namun dikemas dengan luar biasa, dari sudut pandang yang luar biasa pula. Rasanya pada album ini juga tak lepas dari tema cinta, pada beberapa lagu. Disinilah letak perbedaan lain Tulus. Dia menggunakakan kata cinta dengan sangat pas, tidak berlebihan, dan tidak terkesan murahan.

Pada lagu Bumerang, Tulus menceritakan sebuah penghianatan dengan sangat tidak biasa dengan tidak ada rasa sedih tetapi malah mencoba membalas sebuah penghianatan yang ia terima. Lagu lain pada album ini adalah Sepatu, ini salah satu lagu favorit saya. Tulus menggunakan hal yang remeh yaitu sepatu dalam menganalogikan sepasang kekasih yang tak bisa bersatu. Kita adalah sepasang sepatu//selalu bersama tak bisa bersatu//Kita mati bagai tak berjiwa//Bergerak karena kaki manusia. Walaupun mereka selalu ingin bersama ada jarak yang memisahkan, ada hal lain yang tak bisa mereka ingkari. Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Terasa lengkap bila kita berdua//Terasa sedih bila kita di rak berbeda//Di dekatmu kotak bagai nirwana//Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya. Pada akhirnya hanya untuk menyadari bahwa cinta tak selamanya bisa untuk disatukan Cinta memang banyak bentuknya//Mungkin tak semua bisa bersatu.

Lagu yang dijadikan judul album ini sendiri ada pada urutan ke 6. Lagu dengan judul gajah ini juga sebuah perumpamaan. Sebuah konotasi yang (kemungkinan) ditujukan untuk dirinya sendiri. Gajah diumpamakan sebagai sebuah olokan, dalam makna lain olokan ini adalah sebuah pujian yang tak disadari. Penegasan pada lagu ini adalah bahwa sesuatu yang buruk itu belum tentu akan menjadi menjadi sebuah keburukan bagi kita. Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik.

Sejauh ini Tulus telah mengeluarkan 2 album, saya memang baru saja mendengarkan beberapa lagunya. Saya sama sekali belum ‘menyentuh’ album pertamanya. Tentu saja saya pertama kali tahu dia saja dari cover albumnya yang saya tebak-tebak. Tapi dengan sedikit lagu yang sudah tuntas saya dengarkan pada album ini sudah cukup menjadi bagi saya untuk memutuskan menjadikan musiknya sebuah candu.

Gaya vokal Tulus terkesan tidak ngoyo. Enteng ditelinga dan khas. Ketika langit mulai mendung dan bau petrichor mulai tercium dengarkanlah lagu ini. Vokal ringan, kemerduan sebuah balutan jazz, dipadu lirik yang kuat, lugas, dan elementer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar