Kajian bidang pertanian di negeri ini memang bukanlah hal
yang baru, malah saking lamanya masyarakat sudah bosan menggelutinya. Berangkat
dari kondisi bertani yang cenderung tidak banyak mengubah hidup mereka.
Masyarakat desa beramai-ramai menjadi masyarakat urban, dengan harapan yang tak muluk-muluk,
agar merubah hidup mereka, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, kaya dengan
lebih cepat.
Ah, itu hanya anggapan sarkastik mahasiswa jurusan Manajemen
Agrbisnis yang sudah digembleng agar mencintai bidang pertanian, walaupun
akhirnya memilih bekerja di bank atau di perusahaan swasta lain. Menjadi budak
untuk orang lain, dan dengan nyaman mengikuti arus dunia global dengan gadget dan alat elektronik terbaru. Menjadi
manusia apatis yang cenderung individualis. Mungkin juga akan menghamburkan
uang diawal bulan, lalu kesulitan memenuhi kebutuhan diakhir bulan. Siklus gali
lubang tutup lubang yang terlalu klise bagi masyarakat menengah yang bekerja di
perusahaan-perusahaan di ibukota.
Itu yang terjadi pada sebagian besar angkatan diatas saya pada
jurusan ini, alih-alih mendirikan sebuah bisnis. Malahan mereka dengan
kesadaran penuh memilih untuk bekerja pada orang lain. Sebuah anomali sebenarnya
jika kita berkaca kembali pada esensi awal tujuan lulusan Manajemen Agribisnis
yang diharapkan, yaitu adalah untuk mencetak pengusaha muda khususnya dibidang
agribisnis. Saya tidak bermaksud menyalahkan mereka, karena begitulah yang
terjadi di negara ini, salah jurusan itu biasa, bekerja di bidang yang
kontradiktif (mungkin) juga menjadi sangat biasa.
Bagi saya yang mahasiswa tingkat akhir ini tentu saja banyak
menggalau dengan intensitas yang sama dengan kakak kelas dulu tentang masa
depannya. Yah, dengan ilmu yang bisa dibilang kepalang tanggung ini kita harus
menghadapi apa yang disebut sebagai dunia dan hidup. Jika nantinya di
masyarakat saya ditanyai ‘dulu kamu kuliah kenapa mengambil Manajemen
Agribisnis?’ ‘Apa yang kamu dapat dari sana?’ atau mungkin yang lain ketika
saya dimintai saran oleh petani tentang bagaimana menanam jagung yang benar
atau seberapa takaran pupuk yang paling baik untuk tanaman padinya. Mungkin dengan
pertanyaan-pertanyaan itu saya akan tergagap untuk menjawabnya.
Apa yang harus kita yakini hari ini? Menjadi manusia yang puas
bekerja untuk orang lain atau menjadi mandiri seperti harapan program keahlian
Manajemen Agribisnis, atau mungkin menjalani keduanya.
Keadaan di negeri yang kita tinggali ini seharusnya mengajarkan
kita untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kalian mau Indonesia yang
disebut-sebut sebagai negara agraris itu tinggal dongeng? Kenapa harus malu
menjadi petani? Saya tidak sedang berbicara tentang petani dalam konteks yang
sangat sempit seperti macul, tandur. Dan jika itupun yang kalian pikirkan, saya
kira pekerjaan itu masih lebih mulia daripada menjadi kacung di
perusahaan-perusahaan multinasional.
Renungilah ini kawan-kawan Manajemen Agribisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar