Selasa, 02 Desember 2014

Bukan Stensilan Murahan



Judul : Seperti Dendam. Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2014
Penerbit : Gramedia

Ini buku kedua dari Eka Kurniawan yang selesai saya baca bulan November kemarin. Setelah sebelumnya menyelesaikan membaca buku Eka yang lain Lelaki Harimau pada bulan yang sama. Saya membaca buku ini lebih cepat dari membaca Lelaki Harimau, tidak lebih dari tiga hari meski dengan halaman yang lebih banyak. Narasi dan kalimat dalam Seperti Dendam... juga lebih singkat-singkat dan ringan atau remeh temeh saja. Tapi itulah kekuatan Eka, membuat basa-basi yang biasa saja menjadi sebuah lakon yang terlalu sulit untuk tidak diperbincangkan. 

Ide keseluruhan buku ini juga terkesan sangat sederhana jika tidak dikatakan remeh pula. Burung yang tidak bisa berdiri. Burung yang tidak berdiri yang lantas menggiring pada kejadian-kejadian setelahnya. Khas yang dilakukan seperti sebelumnya dalam Lelaki Harimau, alur cerita yang berhamburan dan berantakan, namun kita masih bisa dengan lancar mengikutinya, tanpa harus mengernyitkan dahi dan mengulang membaca. Dalam Seperti Dendam alur maju mundur yang di solek dengan cerdas, rasanya semua mengalir begitu lancar dalam imajinasi, setidaknya itu yang saya rasakan.

Pada suatu malam masalah bermula. Dua orang polisi menyetubuhi seorang perempuan gila, Rona Merah, Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip melalui jendela. Si polisi mengetahui dua bocah itu, Si Tokek berhasil kabur, tapi nahas bagi Ajo Kawir, ia digelandang masuk ke rumah Rona Merah oleh polisi itu. Tak sampai disitu Ajo Kawir dipaksa si polisi menyetubuhi Rona Merah juga, semenjak malam itulah burung Ajo Kawir tak bisa ngaceng, setelah menyaksikan selakangan Rona Merah. Entah karena jijik, gugup atau apa. Setelah burung Ajo Kawir tak bisa lagi berdiri bersama kawannya Si Tokek, Ajo Kawir melakukan segala cara untuk membangunkan si burung, sampai-sampai Iwan Angsa ayah Si Tokek ikut turun tangan membantu Ajo Kawir. Kadang dengan sesuatu yang ekstrim seperti mengoleskan cabai rawit, menyengatkan lebah karena teringat dengan pengobatan dengan metode sengat lebah, dan menyewa pelacur dekat rel kereta. Tentu saja semua itu sia-sia, burung Ajo Kawir terlanjur terlelap dalam tidur. “Tidak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri.” Kata pelacur yang putus asa itu.

Hancur sudah semua masa mudanya tanpa burung yang tak bisa berdiri, masa muda tanpa libido. Masa muda yang kata orang indah itu, menjadi mimpi buruknya. Hal ini membuat Ajo Kawir mengalihkan hari-hari masa mudanya dengan berkelahi. Menantang siapapun. Berbekal nyali, karena kemampuan berkelahinya juga tak bagus-bagus amat. Kadang dengan sengaja mencari gara-gara dengan orang-orang. Hanya untuk pulang babak belur, demikian itu terulang lagi dan lagi.

Suatu kali Ajo Kawir menemukan lawan berduel yang seimbang, seorang perempuan yang sebelumnya diremehkannya, namanya Iteung. Bertarung berjam-jam lalu keduanya terkapar bersama di rerumputan dekat kebun pak Lebe. Tak disangka cinta datang pada saat itu pula, saat keduanya terkapar dan saling pandang satu sama lain. Singkatnya mereka kemudian menikah, dengan burung Ajo Kawir yang tetap dalam dengkuran. Hal yang tak disangka-sangka datang, Iteung hamil entah benih siapa. Mana mungkin burung Ajo Kawir yang tak bisa bangun bisa memberinya benih. Ajo Kawir jelas geram, lalu pergi menjadi supir truk di Jakarta sambil mencari ketenangannya. 

Burung yang tidur justru mengajari Ajo Kawir mengenai kebijaksanaan, “Kehidupan manusia hanyalah impian kemaluan kita. Manusia menjalaninya saja.” Kata Ajo Kawir sekali waktu. Lebih dari itu dalam sunyi dialognya dengan si burung membuat ia memutuskan berhenti berkelahi. Serupa taubatan nasuha seorang pendosa, bahkan ketika keneknya Mono Ompong hampir mati berduel dengan Si Kumbang, Ajo Kawir tetap tenang dengan pandangannya.

Ditengah perjalanan yang melelahkan menjadi supir truk itu, Ajo Kawir bertemu dengan perempuan bernama Jelita. Merupakan ironi Jelita yang sebenarnya adalah buruk wajahnya tak sesuai namanya. Jelita datang serupa penyelamat yang datang terlambat, setelah Ajo Kawir menerima semua keadaannya. Karena akhirnya Jelita lah yang mampu membangunkan si burung yang tidur. Memberi Ajo Kawir kenikmatan bercinta untuk pertama kalinya dan lenyap begitu saja setelah burung Ajo Kawir bangun.

Kesamaan dengan buku Eka yang saya baca sebelumnya ialah tokoh Ajo Kawir dan Margio selalu menegak bir ketika ada masalah. Kata Ajo Kawir “Bir merupakan sahabat bagi semua lelaki sedih.” Dan keduanya memang lelaki pesakitan. Terasing dalam dunianya sendiri. Persamaan lain tentunya alur yang bergerak dengan sangat licin.

Eka menyisipkan humor-humor abu-abu pada buku ini, juga pada Lelaki Harimau. Terkesan sangat elegan. Memang sedikit terlambat saya mengenal karya-karya Eka, saya mengenal belum lama ini, beberapa bulan lalu ketika membaca sebuah review aduhai mengenai buku Lelaki Harimau pada sebuah blog personal. Beberapa waktu setelah merasa cukup uang untuk menebus buku, saya menebusnya. Pertama Lelaki Harimau, tidak mengecewakan, sebarang 15 hari saya membeli Seperti Dendam yang sejatinya telah terbit bulan mei lalu.