Senin, 28 April 2014

Beberapa Penegasan

Kadang beberapa orang bertanya mengapa saya menulis tentang musik, mengapa hal seremeh lantunan nada itu mesti ditulis atau mungkin dimaknai. Apa gunanya? mereka juga menyarankan untuk menulis yang lebih penting daripada sekedar memaknai sebuah bebunyian.

Saya hanya berkata ‘terimakasih atas sarannya’. Taufiq Rahman dalam sebuah esai yang berjudul Menulis Musik adalah Menulis Tentang Manusia mengatakan bahwa Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia. Ya pada akhirnya menulis musik adalah menulis tentang hal-hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan manusia dan menulis tentang musik yang dimaksud bukan hanya tentang memperkirakan suara yang diperdengarkan.

Banyak yang menulis tentang musik jauh ke dalam interpretasinya terhadap sebuah karya seni. Saya juga tak pernah mengenyam sekolah musik, saya tidak pernah mengerti tentang teknik legato, bending, atau juga sweep picking. Saya hanya menulis musik dengan label sebagai ‘penikmat’.

Saya memutuskan berhenti mendengarkan musik-musik arus utama setelah saya menyadari tak akan banyak yang saya dapat dari sana. Sebelum saya menyadari bahwa kualitas sebuah karya dihasilkan dari sebuah proses yang tidak biasa yang melatarbelakanginya. Saya lebih tertarik dengan sesuatu diluar sebuah karya itu dibuat, daripada harus mendengarkan karya yang dibidik karena memenuhi permintaan pasar atau karena keperluan kontrak.

Konsekuensinya saya lebih suka dengan hal-hal yang terjadi dibalik layar. Lebih suka mengait-ngaitkan sebuah karya dengan sesuatu yang lain. Lebih banyak berkomentar tentang mungkin saja sebuah lagu bisa menjadi soundtrack dalam sebuah aksi sosial atau juga sebuah lagu protes sosial. Daripada sekedar membahas teknik vokal sang penyanyi atau apakah gitarisnya menggunakan teknik bla bla bla dalam lagunya. Saya yakin musik yang bagus dihasilkan dengan sebuah proses kreatif, dan bukan karena dalam rangka memenuhi selera masyarakat. Musisilah yang harusnya membentuk selera itu. Musik bukan sesederhana teori bisnis yang hanya berfokus untuk memuaskan pelanggan.

Dulu saya tinggal di daerah pinggiran sehingga tak banyak akses untuk musik. Hanya musik-musik mainstream yang banyak terdengar di gadget-gadget kawan-kawan yang berbagi musik melalui piranti bluetooth. Dulu di tangkringan kawan-kawan hanya musik reggae yang menjadi sebuah warna tersendiri yang kadang membuang kebosanan tentang hidup yang cinta-cintaan. Sehingga saat ini setiap ada senggang kuliah saya memanfaatkan untuk mencari musik-musik, hanya saja tidak jauh-jauh dari kampus dan juga banyak mendengar musik dari berbagai negara. Saya mendengar musik asing dari yang asing yang tak pernah terbayangkan.

Pengaruh dalam beberapa musik juga lah yang sedikit banyak membuat saya selanjutnya berkawan baik dengan buku. Mendorong untuk menulis. Karya seni itu bisa dimaknai oleh pendengarnya dengan sangat beragam. Jadi saya pikir kenapa saya tak melanjutkannya untuk menulis. Walaupun itu personal dan hanya saya rasakan sendiri.

Minggu, 20 April 2014

Merumitkan Tulus


Saya selalu suka dengan kesederhanaan. Saya selalu suka menebak-nebak sesuatu dengan perasaan. Termasuk ketika pertama kali melihat cover album dari Tulus pada album barunya yang diberi tajuk Gajah. Menurut saya ini pasti adalah musik yang keren, covernya saja estetik. Backgroud hitam sesosok wajah yang terpotret dari samping dan tulisan Tulus dengan huruf biasa-biasa saja dengan penempatan yang juga biasa.

Kali ini saya tak salah, Tulus secara singkat membawa saya pada hal yang belum sempat saya lakukan, yaitu memberi waktu musik genre jazz untuk lebih lama terdengar ditelinga. Saya dulu jarang sekali mendengar lagu-lagu dari musisi jazz karena saya pikir musik ini sudah habis. Tidak kali ini, Tulus rasanya telah membuka jiwa saya untuk lebih banyak mendengar lagi. Album ini seperti menggenapi tagihan diri saya sendiri terhadap musik jenis ini.

Secara singkat lagu-lagu dari Tulus menceritakan cerita sehari-hari. Cerita sehari-hari yang terlalu biasa namun dikemas dengan luar biasa, dari sudut pandang yang luar biasa pula. Rasanya pada album ini juga tak lepas dari tema cinta, pada beberapa lagu. Disinilah letak perbedaan lain Tulus. Dia menggunakakan kata cinta dengan sangat pas, tidak berlebihan, dan tidak terkesan murahan.

Pada lagu Bumerang, Tulus menceritakan sebuah penghianatan dengan sangat tidak biasa dengan tidak ada rasa sedih tetapi malah mencoba membalas sebuah penghianatan yang ia terima. Lagu lain pada album ini adalah Sepatu, ini salah satu lagu favorit saya. Tulus menggunakan hal yang remeh yaitu sepatu dalam menganalogikan sepasang kekasih yang tak bisa bersatu. Kita adalah sepasang sepatu//selalu bersama tak bisa bersatu//Kita mati bagai tak berjiwa//Bergerak karena kaki manusia. Walaupun mereka selalu ingin bersama ada jarak yang memisahkan, ada hal lain yang tak bisa mereka ingkari. Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Terasa lengkap bila kita berdua//Terasa sedih bila kita di rak berbeda//Di dekatmu kotak bagai nirwana//Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya. Pada akhirnya hanya untuk menyadari bahwa cinta tak selamanya bisa untuk disatukan Cinta memang banyak bentuknya//Mungkin tak semua bisa bersatu.

Lagu yang dijadikan judul album ini sendiri ada pada urutan ke 6. Lagu dengan judul gajah ini juga sebuah perumpamaan. Sebuah konotasi yang (kemungkinan) ditujukan untuk dirinya sendiri. Gajah diumpamakan sebagai sebuah olokan, dalam makna lain olokan ini adalah sebuah pujian yang tak disadari. Penegasan pada lagu ini adalah bahwa sesuatu yang buruk itu belum tentu akan menjadi menjadi sebuah keburukan bagi kita. Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik.

Sejauh ini Tulus telah mengeluarkan 2 album, saya memang baru saja mendengarkan beberapa lagunya. Saya sama sekali belum ‘menyentuh’ album pertamanya. Tentu saja saya pertama kali tahu dia saja dari cover albumnya yang saya tebak-tebak. Tapi dengan sedikit lagu yang sudah tuntas saya dengarkan pada album ini sudah cukup menjadi bagi saya untuk memutuskan menjadikan musiknya sebuah candu.

Gaya vokal Tulus terkesan tidak ngoyo. Enteng ditelinga dan khas. Ketika langit mulai mendung dan bau petrichor mulai tercium dengarkanlah lagu ini. Vokal ringan, kemerduan sebuah balutan jazz, dipadu lirik yang kuat, lugas, dan elementer.

Jumat, 18 April 2014

Konotasi

Kamu tahu kan rasanya ditinggalkan? Tidak dihiraukan, dilupakan. Sama sakitnya seperti dikhianati, mungkin lebih. Kemudian kamu mencoba merenungkannya hanya untuk menyadari bahwa inilah yang terbaik. Kamu tak pernah merasa sesakit ini sebelumnya, dan sesudahnya kamu terlalu berhati-hati dalam bersikap. Pengalaman tentang luka menjadikanmu pribadi yang lain.

Semua hal dalam kehidupan tak pernah asing bagi kita –kecuali kita yang menganggapnya sendiri--. Semua itu ibarat hal yang datang dan pergi lagi. Walaupun dia pergi tentu bukan berarti sebuah akhir. Ada kalanya kita tak harus percaya pada kata-kata dan apa yang terlihat. Mata kita sendiri saja bisa menipu, apalagi kata-kata. Mudah sekali untuk memplesetkan lidah ini kearah sebaliknya.

Kita tahu bukan jika dunia ini penuh makna. Selalu ada makna dibalik kata-kata dan bukan sebaliknya. Manusia perlu memikirkan makna itu dengan nalarnya. Akupun pernah mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang kau alami. Terlahir kemudian terasingkan. Aku tidak memiliki banyak teman dalam hidupku, tidak seperti dirimu yang selalu berkawan akrab dengan siapa saja. Aku bukan memilih-milih teman, terlebih karena aku terlalu suka menyendiri. Ah, kau sudah tahu itu setelah bertahun aku mengenalmu.