Selasa, 20 Mei 2014

Yang Tersisa dari Praktik Kerja Lapangan


Tanggal 14 Mei lalu menjadi akhir saya di tempat yang kemudian kusebut sebagai pengalaman kerja pertama ini. Saya telah begitu banyak belajar dari tempat PKL ini. Bukan saja ilmu, malahan saya rasa ilmu yang saya dapat dari sini tidaklah sebanyak pengalaman yang saya dapat ,mengenai sisi humaniora. Sebagai manusia untuk lebih manusiawi lagi.

Dalam waktu ini saya ingin menyampaikan terimakasih banyak kepada semua rekan, karyawan dan warga sekalian. Kami telah diajarkan banyak hal. Tidak ada yang lebih pantas kami sampaikan selain permintaan maaf karena telah menyusahkan kalian selama ini. Satu hal yang benar-benar saya yakini sekarang adalah perihal pengetahuan itu banyak terdapat di buku-buku, tetapi dari semua itu lebih penting bagi kita untuk mendapatkan pengetahuan tentang hidup. PKL hanyalah satu sisi lain yang saya dan kawan-kawan lain lakukan tak lebih untuk memenuhi tugas akhir sebenarnya.

Ingin sekali saya sampaikan terimakasih yang begitu besar bagi Ahmad Fauzi, bukan saja karena telah memberikan kami waktu libur selama 10 hari untuk pulang kampung, tetapi sebagai pembimbing lapangan kami yang telah memberikan beberapa wejangannya yang berharga kepada kami ini. Kepada bang Buluk yang beberapa kali saat kami datang membikinkan kopi teko yang bahkan sampai sekarang masih kami harapkan untuk tersaji setiap hari. Bang Dartok dengan segala keramahan dan pelajaran tentang ternak ayam. Bang Lebeng dengan gaya tak bersalahnya yang pada suatu hari kemarin sempat menemani kami berburu lindung. Bang Alih, kami rindu lelucon-lelucon gila mu, iya guyonan tentang tukang ngarit yang ngondek disebelah empang. Tingkah jahil yang tak pernah ada bandingannya diantara kawan lain disitu. Terakhir adalah bang Rolli yang saya sebenarnya masih sedikit menyimpan sebuah rasa penasaran. Termasuk ketika beberapa kali mendengar cerita tentang bang Rolli dari mas Ahmad Fauzi.

Tak terhitung tawa bersama saat disini, beberapa pengalaman baru yang tak akan saya bilang sebagai pengalaman biasa. Suatu saat kami mungkin akan merindukan hari-hari seperti ini walaupun pada saat PKL kami selalu berharap agar PKL ini cepat-cepat selesai.

Terima kasih, kami doakan beliau-beliau sehat selalu.

Kamis, 01 Mei 2014

Sejenis Sapaan Untuk Gadis Tersayang

Perempuanku, kamu baik-baik saja kan?

Aku sudah lama tidak merayumu lagi. Tidak membual lagi, menggodamu masalah kulit yang kuning langsat. Dulu waktu awal-awal kita berpacaran hampir setiap hari aku menghujanimu dengan bualan. Tak jarang kamu hanya tersipu malu mendengar itu. Aku ingin merayumu lagi, lewat tulisan ini. Yang mungkin kau sudah bosan dengan segala bujuk seperti dulu.

Kamu yang sedikit banyak mengajari aku untuk membual, meskipun aku menyebut itu bukanlah bualan. Lebih kepada kejujuran, dan aku tak pernah berlebihan melakukan hal itu kan. Kau tahu itu? Karena aku sadar kapasitasku bukan seorang perayu yang handal. Dalam memikat hatimu pun aku merasa tidak banyak merayu dengan kata-kata. Aku lebih suka menunjukkannya secara langsung, aku lebih suka menepati janjiku.

Mungkin karena rayuanku terlalu garing dan membosankan yang tak jarang aku tak mendapat respon dan perhatian darimu. Hidup bersama selalu mengajarkan berbagai hal yang pada akhirnya tentang menerima kekurangan masing-masing. Hidup bersama sejauh ini membuatku untuk takut kehilanganmu. Aku takut tak bisa menemukan lagi orang seperti kamu dimasa depan jika berpisah. Siapa yang bisa berakal sehat saat patah hati? Aku tidak pernah malu mengakui sisi sentimen ini. Kamu tidak akan percaya ini pria yang sama yang pernah intens mendengarkan Loveless yang merupakan salah satu album My Bloody Valentine. Benar kan perempuanku?

Gadisku yang menggemaskan,

Aku tahu kini kau semakin sibuk dengan perkuliahanmu. Dengan silabus, dengan RPP atau apalah lagi. Bahkan tak sejengkalpun aku mengerti itu. Dan aku merasa berutung kamu tiap hari masih sempat mengabariku dengan beberapa pesan singkat, walaupun tak jarang kau meninggalkanku ditengah percakapan, dan aku merajuk.  Dan kamu menenangkanku, mengalihkan pembicaraan yang membuatku tertawa, dan aku kembali seperti semula sebagai pria yang sangat merindukanmu.

Kadang aku ingin sekali memperbaiki kelemahanku dalam berhitung dengan belajar darimu. Maklum semua orang tahu kapasitasmu sebagai mahasiswa jurusan Matematika. Berhitung dari yang sangat sederhana mungkin, dari menghitung volume kerucut atau menghitung probabilitas, berlanjut ke integral parsial. Aku tidak sabar menantikan hal itu.

Gadisku yang selalu melemahkanku,

Selama ini sudahkah kita mencoba memahami celah masing-masing, sudahkah kita mencoba untuk mengerti lebih dalam satu sama lain. Ini memang sulit perempuanku, sangat berat untuk dapat mengerti seseorang hanya dalam 2 tahun yang kita lewati ini. Tapi aku selalu mencoba. Aku selalu mencoba untuk membuat semuanya tampak jelas antara hitam dan putih. Sayangnya aku selalu terjebak diantaranya, di sisi yang abu-abu, belum jelas, seperti temaram senja, agak buram.

Bagimu bagiku tidak ada kelemahan yang pantas untuk dipermasalahkan kan? Aku mencintai kelemahanmu. Menjadi sederhana tidak akan menunjukkan kelemahanmu. Banyak-banyaklah bersyukur agar dapat lebih bahagia menjalani hidup, tak usah risaukan celahmu. Semoga saja kita memang diciptakan Tuhan untuk bersama. Karena kamu tahu? Apa yang disatukan Tuhan tidak akan pernah mungkin dapat dipisahkan oleh manusia. Doakan aku agar segera dapat menyelesaikan tagihanku diakhir semester ini. My hug from a far.

Senin, 28 April 2014

Beberapa Penegasan

Kadang beberapa orang bertanya mengapa saya menulis tentang musik, mengapa hal seremeh lantunan nada itu mesti ditulis atau mungkin dimaknai. Apa gunanya? mereka juga menyarankan untuk menulis yang lebih penting daripada sekedar memaknai sebuah bebunyian.

Saya hanya berkata ‘terimakasih atas sarannya’. Taufiq Rahman dalam sebuah esai yang berjudul Menulis Musik adalah Menulis Tentang Manusia mengatakan bahwa Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia. Ya pada akhirnya menulis musik adalah menulis tentang hal-hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan manusia dan menulis tentang musik yang dimaksud bukan hanya tentang memperkirakan suara yang diperdengarkan.

Banyak yang menulis tentang musik jauh ke dalam interpretasinya terhadap sebuah karya seni. Saya juga tak pernah mengenyam sekolah musik, saya tidak pernah mengerti tentang teknik legato, bending, atau juga sweep picking. Saya hanya menulis musik dengan label sebagai ‘penikmat’.

Saya memutuskan berhenti mendengarkan musik-musik arus utama setelah saya menyadari tak akan banyak yang saya dapat dari sana. Sebelum saya menyadari bahwa kualitas sebuah karya dihasilkan dari sebuah proses yang tidak biasa yang melatarbelakanginya. Saya lebih tertarik dengan sesuatu diluar sebuah karya itu dibuat, daripada harus mendengarkan karya yang dibidik karena memenuhi permintaan pasar atau karena keperluan kontrak.

Konsekuensinya saya lebih suka dengan hal-hal yang terjadi dibalik layar. Lebih suka mengait-ngaitkan sebuah karya dengan sesuatu yang lain. Lebih banyak berkomentar tentang mungkin saja sebuah lagu bisa menjadi soundtrack dalam sebuah aksi sosial atau juga sebuah lagu protes sosial. Daripada sekedar membahas teknik vokal sang penyanyi atau apakah gitarisnya menggunakan teknik bla bla bla dalam lagunya. Saya yakin musik yang bagus dihasilkan dengan sebuah proses kreatif, dan bukan karena dalam rangka memenuhi selera masyarakat. Musisilah yang harusnya membentuk selera itu. Musik bukan sesederhana teori bisnis yang hanya berfokus untuk memuaskan pelanggan.

Dulu saya tinggal di daerah pinggiran sehingga tak banyak akses untuk musik. Hanya musik-musik mainstream yang banyak terdengar di gadget-gadget kawan-kawan yang berbagi musik melalui piranti bluetooth. Dulu di tangkringan kawan-kawan hanya musik reggae yang menjadi sebuah warna tersendiri yang kadang membuang kebosanan tentang hidup yang cinta-cintaan. Sehingga saat ini setiap ada senggang kuliah saya memanfaatkan untuk mencari musik-musik, hanya saja tidak jauh-jauh dari kampus dan juga banyak mendengar musik dari berbagai negara. Saya mendengar musik asing dari yang asing yang tak pernah terbayangkan.

Pengaruh dalam beberapa musik juga lah yang sedikit banyak membuat saya selanjutnya berkawan baik dengan buku. Mendorong untuk menulis. Karya seni itu bisa dimaknai oleh pendengarnya dengan sangat beragam. Jadi saya pikir kenapa saya tak melanjutkannya untuk menulis. Walaupun itu personal dan hanya saya rasakan sendiri.

Minggu, 20 April 2014

Merumitkan Tulus


Saya selalu suka dengan kesederhanaan. Saya selalu suka menebak-nebak sesuatu dengan perasaan. Termasuk ketika pertama kali melihat cover album dari Tulus pada album barunya yang diberi tajuk Gajah. Menurut saya ini pasti adalah musik yang keren, covernya saja estetik. Backgroud hitam sesosok wajah yang terpotret dari samping dan tulisan Tulus dengan huruf biasa-biasa saja dengan penempatan yang juga biasa.

Kali ini saya tak salah, Tulus secara singkat membawa saya pada hal yang belum sempat saya lakukan, yaitu memberi waktu musik genre jazz untuk lebih lama terdengar ditelinga. Saya dulu jarang sekali mendengar lagu-lagu dari musisi jazz karena saya pikir musik ini sudah habis. Tidak kali ini, Tulus rasanya telah membuka jiwa saya untuk lebih banyak mendengar lagi. Album ini seperti menggenapi tagihan diri saya sendiri terhadap musik jenis ini.

Secara singkat lagu-lagu dari Tulus menceritakan cerita sehari-hari. Cerita sehari-hari yang terlalu biasa namun dikemas dengan luar biasa, dari sudut pandang yang luar biasa pula. Rasanya pada album ini juga tak lepas dari tema cinta, pada beberapa lagu. Disinilah letak perbedaan lain Tulus. Dia menggunakakan kata cinta dengan sangat pas, tidak berlebihan, dan tidak terkesan murahan.

Pada lagu Bumerang, Tulus menceritakan sebuah penghianatan dengan sangat tidak biasa dengan tidak ada rasa sedih tetapi malah mencoba membalas sebuah penghianatan yang ia terima. Lagu lain pada album ini adalah Sepatu, ini salah satu lagu favorit saya. Tulus menggunakan hal yang remeh yaitu sepatu dalam menganalogikan sepasang kekasih yang tak bisa bersatu. Kita adalah sepasang sepatu//selalu bersama tak bisa bersatu//Kita mati bagai tak berjiwa//Bergerak karena kaki manusia. Walaupun mereka selalu ingin bersama ada jarak yang memisahkan, ada hal lain yang tak bisa mereka ingkari. Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Kita sadar ingin bersama//Tapi tak bisa apa-apa//Terasa lengkap bila kita berdua//Terasa sedih bila kita di rak berbeda//Di dekatmu kotak bagai nirwana//Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya. Pada akhirnya hanya untuk menyadari bahwa cinta tak selamanya bisa untuk disatukan Cinta memang banyak bentuknya//Mungkin tak semua bisa bersatu.

Lagu yang dijadikan judul album ini sendiri ada pada urutan ke 6. Lagu dengan judul gajah ini juga sebuah perumpamaan. Sebuah konotasi yang (kemungkinan) ditujukan untuk dirinya sendiri. Gajah diumpamakan sebagai sebuah olokan, dalam makna lain olokan ini adalah sebuah pujian yang tak disadari. Penegasan pada lagu ini adalah bahwa sesuatu yang buruk itu belum tentu akan menjadi menjadi sebuah keburukan bagi kita. Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik.

Sejauh ini Tulus telah mengeluarkan 2 album, saya memang baru saja mendengarkan beberapa lagunya. Saya sama sekali belum ‘menyentuh’ album pertamanya. Tentu saja saya pertama kali tahu dia saja dari cover albumnya yang saya tebak-tebak. Tapi dengan sedikit lagu yang sudah tuntas saya dengarkan pada album ini sudah cukup menjadi bagi saya untuk memutuskan menjadikan musiknya sebuah candu.

Gaya vokal Tulus terkesan tidak ngoyo. Enteng ditelinga dan khas. Ketika langit mulai mendung dan bau petrichor mulai tercium dengarkanlah lagu ini. Vokal ringan, kemerduan sebuah balutan jazz, dipadu lirik yang kuat, lugas, dan elementer.

Jumat, 18 April 2014

Konotasi

Kamu tahu kan rasanya ditinggalkan? Tidak dihiraukan, dilupakan. Sama sakitnya seperti dikhianati, mungkin lebih. Kemudian kamu mencoba merenungkannya hanya untuk menyadari bahwa inilah yang terbaik. Kamu tak pernah merasa sesakit ini sebelumnya, dan sesudahnya kamu terlalu berhati-hati dalam bersikap. Pengalaman tentang luka menjadikanmu pribadi yang lain.

Semua hal dalam kehidupan tak pernah asing bagi kita –kecuali kita yang menganggapnya sendiri--. Semua itu ibarat hal yang datang dan pergi lagi. Walaupun dia pergi tentu bukan berarti sebuah akhir. Ada kalanya kita tak harus percaya pada kata-kata dan apa yang terlihat. Mata kita sendiri saja bisa menipu, apalagi kata-kata. Mudah sekali untuk memplesetkan lidah ini kearah sebaliknya.

Kita tahu bukan jika dunia ini penuh makna. Selalu ada makna dibalik kata-kata dan bukan sebaliknya. Manusia perlu memikirkan makna itu dengan nalarnya. Akupun pernah mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang kau alami. Terlahir kemudian terasingkan. Aku tidak memiliki banyak teman dalam hidupku, tidak seperti dirimu yang selalu berkawan akrab dengan siapa saja. Aku bukan memilih-milih teman, terlebih karena aku terlalu suka menyendiri. Ah, kau sudah tahu itu setelah bertahun aku mengenalmu.

Sabtu, 29 Maret 2014

Meneladani Bambang Ekalaya

Aku ingin membagi sebuah cerita kepada kalian, mengenai seorang pangeran dari negeri Nisada. Dia adalah Bambang Ekalaya. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa Bambang Ekalaya hendak memperdalam ilmu memanahnya, datanglah dia ke Hastina untuk menemui Resi Drona yang hendak ia jadikan guru. Namun keinginan itu ditolak oleh Resi Drona dengan alasan Resi Drona hanya akan menerima murid dari Hastina. Tetapi Bambang Ekalaya tak patah arang, kemudian di tengah perkemahannya dia membuat patung yang mirip dengan Resi Drona yang setia dia sembah dan puja setiap harinya. Dia juga kadang mengintip ketika Resi Drona mengajari murid-muridnya.

Suatu ketika ada sebuah pertandingan memanah, Bambang Ekalaya ternyata mengungguli Arjuna bahkan lebih sakti daripada Arjuna. Bambang Ekalaya juga menguasai ilmu memanah Danurweda yang terkenal sulit untuk dikuasai itu.Para Korawa kemudian bertanya siapa guru dari Bambang Ekalaya. Bambang Ekalaya menjawab bahwa gurunya adalah Resi Drona. Selepas itu para Korawa datang kepada Prabu Drestarata, ayah dari para Korawa. Prabu Drestarata kemudian memangil dan berbicara kepada Resi Drona perihal janjinya untuk tidak mengajarkan ilmu utama itu kepada Ksatria dari negara lain. Resi Drona bingung dengan kenyataan ini, dan meminta waktu untuk mendapatkan jawabannya. Karena dia sama sekali tidak pernah merasa mengangkat murid dari negara lain. Akhirnya dibuntutilah Bambang Ekalaya, sampai ke tempatnya berlatih. Dia terkejut melihat patung dirinya, berdiri tegak di tengah-tengah sanggar pemujaan Sang Ksatria utama. Bambang Ekalaya tengah khusuk, berdoa dihadapan patung dirinya itu. Lalu disapalah Bambang Ekalaya oleh Resi Drona.

Bambang Ekalaya terkejut mendengar suara yang sangat dikaguminya itu, dengan setengah tidak percaya, dia melihat Resi Drona berdiri di hadapannya. Sambil menyembah Bambang Ekalaya berkata “Guru yang hamba puja dan hormati, ada apakah gerangan engkau datang ke tempat hamba yang hina ini”. “Terimalah sembah sujud hamba kepadamu”.

Lalu Guru Drona bertanya, segala yang terjadi selama ini. Dengan penuh hormat, Bambang Ekalaya menceritakan perjalanannya meraih ilmu dengan cara belajar sendiri dan memuja patung Resi Drona untuk mendapatkan restu dari Sang Guru. Resi Drona terharu mendengar penuturan dari Bambang Ekalaya. Dia sadar, bahwa kemampuan sang murid dalam belajar sendiri sangat luar biasa. Hanya dengan rasa bhakti terhadap guru, walau tanpa diajar langsung, dia dapat menguasai ilmu Danurweda yang terkenal sangat sulit untuk dipelajari itu.

Mendengar penjelasan itu, Resi Drona gundah melihat kenyataan yang dia hadapi. Melihat kesedihan dari roman muka Sang Guru, lalu Bambang Ekalaya bertanya, ada apa gerangan, sehingga menjadi berduka seperti itu. Sang Guru berkata, “Bambang Ekalaya anakku, aku terharu akan usahamu dalam melaksanakan swadhyaya atau belajar sendiri. Engkau mampu menguasi ilmu Danurweda yang sangat sulit ini, yang bahkan akupun belajar dengan guruku selama bertahun-tahun. Sedangkan ananda dapat menguasainya dalam waktu singkat dan sangat sempurna, hanya dengan rasa bhakti. Namun aku sekarang berada dalam posisi sangat sulit, dan ini tidak sama sekali karena kesalahanmu. Aku pernah berjanji kepada Prabu Drestarata, untuk tidak mengangkat murid selain dari keluarga Hastina. Dan akibat ulah dari pada Korawa setelah kalah perang tanding denganmu, maka aku dituduh berkhianat terhadap janji yang telah aku ucapkan sendiri. Sedangkan menepati janji adalah kewajiban utama bagi seorang Brahmana. Mungkin ini memang sudah jalanku, sehingga aku tidak bisa melanjutkan cita-citaku sejak lama untuk menjadi Brahmana Kerajaan. Tapi aku sangat bangga kepadamu Bambang Ekalaya. Engkau akan menjadi contoh bagi generasi muda, yang tidak cengeng, dan mampu mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.”

Bambang Ekalaya menangis dan bersujud kepada Resi Drona, meminta maaf atas kelakuannya yang telah menyusahkan hati Sang Guru yang sangat dia hormati. Seraya berkata, apa yang dia dapat dilakukan untuk menebus kesalahannya. Resi Drona kembali berkata, bahwa ini bukanlah kesalahan dari Bambang Ekalaya. Namun ini hanya karena takdir. Namun Bambang Ekalaya bersikukuh dengan pendirian, bahkan mau mengorbankan nyawa demi Guru yang dia cintai.

Akhirnya setelah lama berdialog, Bambang Ekalaya berjanji untuk tidak menggunakan ilmu Danurweda tersebut, sebagai buktinya dia merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong, sehingga tidak bisa memanah lagi. Serta merta, Bambang Ekalaya memotong ibu jari tangannya dan dengan rasa hormat, di persembahkanlah ibu jari itu kepada Resi Drona yang sangat dia hormati.

Maka terkejutlah Resi Drona terhadap pengorbanan dari Bambang Ekalaya, dengan menangis haru, Resi Drona memberikan restu dan mendoakan Bambang Ekalaya, kelak menjadi Ksatria dan Raja Utama. Dengan rasa hormat dan terima kasih, Bambang Ekalaya memeluk kaki Sang Guru, seraya mohon pamit untuk kembali ke negaranya. Lalu mereka berpisah, dan Resi Drona kembali ke Hastina dan menceritakan kepada Prabu Drestarata tentang hal yang terjadi. Akhirnya Guru Drona tetap menjadi Brahmana Kerajaan di Hastina, sedangkan Bambang Ekalaya menggantikan ayahnya menjadi Raja di negara Nisada.
                                                                    ***
Apa yang dapat kita petik dari cerita tersebut, adalah rasa hormat kepada seorang guru. Selama ini banyak dari kita telah menganggap guru sebagai seorang yang tak lebih dari penceramah biasa. Yang memberikan ilmu pasti, memarahi bila kita salah dalam mengerjakan soal. Hanya itu yang kita ingat dari sosok seorang guru. Bahkan kadang kita membenci mereka,  karena suatu alasan.

Saya juga pernah mengalami kebencian seperti itu kepada seorang guru, sampai bertahun-tahun saya mendendam kepadanya. Sampai akhirnya Bambang Ekalaya membuka mata bahwa tidakkah kita mencoba berfikir untuk lebih dalam mengetahui guru bukan semata memberi pendidikan secara formal, namun juga mencoba membentuk sikap kita ke arah yang baik tentunya.

Dalam kenyataannya kita menghamba ilmu atau mungkin pengalaman kepada mereka. Seperti cerita Bambang tersebut walaupun dia tidak diajar oleh langsung oleh Resi Drona tetapi kemampuannya melebihi murid Resi Drona yang diajarnya secara langsung. Bambang telah mengajari kita bahwa belajar sendiri dengan upaya yang sungguh-sungguh, dapat menghasilkan kemampuan sama bahkan lebih baik, daripada murid yang berguru secara langsung. Kemudian tentang rasa baktinya kepada seorang guru yang luar biasa. Yang tentunya sudah jarang kita dapati di ranah pendidikan hari ini.

Minggu, 23 Maret 2014

Dendang Maut Belukaria Orkestar


Sebenarnya saya malas untuk menulis lagi tentang review seperti ini. Ya, saya sudah banyak mencoba menulis review seperti ini, hasilnya cukup monoton dan membosankan, selain itu kadang sesuatu yang saya rasakan tak bisa untuk sekedar diungkapkan dengan tulisan ataupun kata. Kadang saya merasa bahasa terlalu sempit untuk bisa mewakili kenyataan sebenarnya. Tetapi ini mungkin terasa seperti hutang jika saya tidak membuat review tentang band luar biasa asal Palembang, Semakbelukar. Saya ingat bahwa tujuan saya menulis adalah untuk menghindari kelupaan tentang apapun. Setidaknya ini layak ditulis karena sudah mengubah pandangan saya tentang suatu hal.

Sebelumnya saya tak pernah suka dengan aliran musik melayu. Alasannya memang terlalu dangkal saat itu untuk menilai musik melayu dari media yang mengecap band-band  yang beredar dipasaran, yang memenuhi layar kaca setiap pagi di acara musik, yang telah membuat citra musik melayu bagi saya menjadi buruk. Band-band melayu mainstream yang seragam dan cengeng  adalah sebuah keboborokan yang dipelihara. Dan Semakbelukar adalah sebuah anomali mungkin, jika mungkin melayu yang sejati itu relatif bagi setiap orang. Semakbelukar adalah sebuah penawar dari semua itu, semacam relevation yang pas diujung senja tiba dan keheningan beranjak.

Bagi saya mereka cukup bangsat untuk sebuah band yang mulai dikenal, malah kemudian mereka memutuskan untuk bubar.  Entahlah apapun alasan mereka dalam keputusan ini, yang jelas mereka telah membuat banyak orang kecewa dan bertanya-tanya. Kenapa harus bubar sekarang.

Saya banyak menangkap lirik lagu mereka adalah merujuk kepada kritik sosial. Kritik sosial yang dikemas dengan luar biasa dan cadas. Lewat metafora-metafora kata yang saya yakin dibutuhkan waktu dan proses kreatif yang mumpuni sebagai sebuah pemberontakan. Semakbelukar memang eksotis, secara visual saja melihat alat musik musik yang mereka gunakan adalah terlampau sederhana. Siapa sangka gong kecil yang banyak dipakai tukang es keliling ini adalah bagian dari musik mereka.

Ketika David Hersya mulai melantunkan suara, saya pun luruh merendah menikmati lantunan yang lebih mirip muadzin saat adzan ini. pada lagu Kalimat Satu yang dimulai dengan permainan akordeon lalu dentuman gendang yang teratur. Ketika kita sudah bosan dengan musik yang ada saat ini, Semakbelukar adalah kesempatan yang bagus untuk Anda menikmati dendang ringan yang mendayu-dayu. Mereka sama sekali tidak terlihat njlimet dan berskill tinggi. Cukup sederhana untuk sebuah band, kesederhanaan yang justru mungkin saja bisa memunculkan sesuatu yang lebih rumit jika kita menyimak mereka dengan lebih dalam.

Kalian tahu bahwa tampilan luar selalu menipu kan? Semakbelukar memang terlihat biasa-biasa saja. Sebelum saya menemukan bahwa ada sesuatu yang menarik dari band ini. Pada saat semua manusia bisa dibilang menuju ke arah yang semakin modern. Mereka malah memilih hal yang sangat kuno dan tradisional, dan mungkin ini yang luput dari kita. Ternyata sesuatu yang kuno itu terasa lebih modern dari apa yang disebut modern itu sendiri.

Namun, saya juga tidak begitu yakin itu satu-satunya alasan, barangkali sebagian dari kita hanya sedang bosan dengan musik saat ini yang sudah terlampau  biasa untuk telinga kita dan kita sekedar mencari alternatif lain dalam rangka pelarian untuk membunuh kebosanan itu. Saya tidak tahu, setidaknya itu adalah hal yang masih abu-abu. Saya memang belum yakin bahwa mendengarkan Semakbelukar adalah sebuah pengalaman religius, saya belum yakin. Entahlah setidaknya saya selalu punya waktu menikmati dendang mereka lewat earphone yang terpasang dilaptop.