Sabtu, 16 Maret 2013

Tetap Punya Harapan


Saya miris ketika membaca sebuah artikel tentang betapa mahasiswa saat ini terkesan tidak berani menyuarakan nasib rakyat. Mahasiswa jarang bergerak melakukan aksi-aksi. Padahal mahasiswa merupakan agen perubahan. Mantan aktivis 98 pun ikut angkat bicara, Bona Ventura mengatakan "ada yang salah dalam proses elaborasi dan gagasan bergerak diantara mereka". Saya malu, saya benar-benar malu pada diri saya sendiri. Kami tidak mampu mewakili rakyat yang tertindas, kami tidak mampu menekan pemerintahan. Siapapun tahu situasi saat ini tak lebih baik dari tahun 98. Rakyat belum sejahtera, korupsi dimana-mana, hukum belum tegak dan anjing-anjing kapitalis kian merajalela. Tapi apa yang telah kita lakukan? Nothing?

Sewaktu kecil saya pernah berandai  jika kelak menjadi mahasiswa saya akan menjadi seperti mereka yang meneriakkan perubahan karena negara yang gagal menjalankan amanah, saya ingin berada digaris paling depan. Bukan karena sok keren atau apapun, tapi saya peduli dengan orang-orang disekitar. Karena saya tidak dilahirkan dikota yang penuh gemerlap. Saya dilahirkan di desa dan melihat banyak orang disekitar yang masih jauh dari kata sejahtera. Tapi hari ini, saat sudah menjadi mahasiswa saya urung melakukan aksi apapun. Padahal jelas pemerintah telah gagal menjalankan fungsi utamanya dalam memenuhi hak-hak rakyat. Permasalahan yang tak kunjung usai diatas sana membuat rakyat mempertanyakan kredilitas pemerintah. Mereka (Pemerintah) memang jeli mencegah aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa saat ini. Dengan mengetatkan waktu studi dikampus dan dengan membuat aturan murahan anjing yang membuat muntah.

Kita butuh bergerak, kita butuh turun ke jalan, kita butuh merobohkan tiran itu. walaupun memang tak selalu permasalahan diselesaikan dengan cara demo dan melakukan aksi turun ke jalan. Tapi kadangkala itu adalah cara yang luar biasa ampuh menekan mereka untuk mengikuti aturan main rakyat atas dasar demokrasi. Layaknya tahun 98 dimana masyarakat dan mahasiswa bergerak bersama untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto dan itu memaksa mereka menghasilkan kata yang disebut reformasi. Tapi kamipun bisa melakukan aksi dengan cara-cara damai, dengan tertib. Namun kadangkala kami memang menantang aparat. Mungkin karena kami sudah melewati batas emosi sebagai masyarakat yang belum tentu akan mendapatkan keadilan ini. Atau karena aparat menembaki kami, dan satu alasan yang selalu mereka kuatkan adalah sudah sesuai prosedur dimana massa mengamuk.

Terkait dengan pihak kampus saya pun menyadari aturan murahan yang mereka buat, apalagi di kampus saya, yang melarang semua mahasiswanya ikut kegiatan politik. Bahkan itu tertulis di peraturan akademik. Sebenarnya diperbolehkan, dengan syarat ada izin dari rektor. Tapi saya rasa izin itupun akan sulit untuk turun. Belum lagi sulitnya menemui rektor. You know how shitty about that?. Ratusan dari kami mungkin juga merasakan seperti yang saya rasakan, ingin bergerak melakukan aksi. Tapi kami memang tidak mau untuk sekedar sok jagoan dan diam-diam melakukan aksi yang nantinnya malah akan berdampak pada hadirnya sanksi. Saya tidak tahu apakah di kampus lain aturannya memang seperti ini, sayangnya saya selalu terlupa untuk menanyakan beberapa kawan tentang masalah ini. Saya takut mereka tidak tahu menau dan juga tidak tertarik melakukan ini itu.

Kebanyakan dari kita saat ini hanya mencari zona aman dan nyaman tanpa peduli sekitar. Yang penting gak neko-neko katanya, bisakah kita selamnya untuk stay di zona tersebut. Tapi saat ini memang kita harus turun ke jalan. Melakukan aksi-aksi dengan cara damai. Mungkin besok atau lusa kita bisa, asal jangan semangat ini memudar. Tetaplah jaga semangat ini. Banyak jiwa yang harus kita perjuangkan di tempat yang disebut Indonesia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar