Jumat, 20 April 2012

Terkait Pungutan dan Surat Rekomendasi Pengulak Bensin


Ponorogo kini lahir bibit-bibit persengkongkolan korporasi pada tingkat kecamatan. Paling tidak aksinya kini lebih terstruktur dan beralasan. Sebagai contoh diharuskannya pengecer bensin membawa/memiliki surat izin jika membeli bensin di SPBU dimanfaatkan sebagai ladang mencari tambahan penghasilan oleh para pegawai kecamatan nakal yang menangani surat permohonan izin. pegawai tersebut juga mengakui dan berdalih bahwa ini adalah 'uang lelah'. Hal tersebut terungkap setelah adanya inspeksi yang dilakukan oleh penyidik inspektorat kabupaten Ponorogo.


Padahal jelas biaya tambahan tersebut tidak ada dalam perda, dan akan menambah berat pencari surat tersebut. Walaupun besarnya pungutan tersebut berkisar antara Rp 2000-Rp 5000, terlihat kecil, namun jika ditilik lebih bawah lagi dalam konteks yang lain, saya yakin akan terungkap lagi pungutan liar lain, semisal di kelurahan atau bentuk birokrasi lain. Mereka (para pengecer bensin) sebagian besar adalah pemilik warung kelontong kecil, betapapun nilai yang dirasa kecil itu akan menjadi suatu kesimpulan absurd jika hanya menilai kecilnya pungutan itu. Mereka juga perlu biaya transport dan biaya pengurusan ditingkat kelurahan, mungkin juga RT setempat. Jelas itu menjadi 'biaya tambahan' lain dalam mencari selembar surat rekomendasi tersebut.

Pungutan-pungutan liar ini memang sudah seperti menjadi budaya di Indonesia selain budaya korupsi yang akut tentunya, dari level paling bawah sampai ke pusat selalu saja ada kasus seperti ini. Menindak tegas selalu saja menjadi solusi, karena memang kepastian hukum di negeri ini masih jauh dari kata tegas. Pemerintah Daerah juga harus sigap mengatur para anak buahnya untuk selalu bertindak sesuai ketentuan dan tidak membuat aturan sendiri sebagai alasan untuk urusan pribadi.

Jangan sampai itu menimbulkan stigma lain yang dipandang oleh masyarakat kepada pemerintah, sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas kinerja birokrasi.

2 komentar: