Ponorogo kini lahir bibit-bibit persengkongkolan
korporasi pada tingkat kecamatan. Paling tidak aksinya kini lebih terstruktur
dan beralasan. Sebagai contoh diharuskannya pengecer bensin membawa/memiliki
surat izin jika membeli bensin di SPBU dimanfaatkan sebagai ladang mencari
tambahan penghasilan oleh para pegawai kecamatan nakal yang menangani surat
permohonan izin. pegawai tersebut juga mengakui dan berdalih bahwa ini adalah
'uang lelah'. Hal tersebut terungkap setelah adanya inspeksi yang dilakukan oleh penyidik inspektorat kabupaten Ponorogo.
Padahal jelas biaya tambahan tersebut tidak ada dalam
perda, dan akan menambah berat pencari surat tersebut. Walaupun besarnya
pungutan tersebut berkisar antara Rp 2000-Rp 5000, terlihat kecil, namun jika
ditilik lebih bawah lagi dalam konteks yang lain, saya yakin akan terungkap
lagi pungutan liar lain, semisal di kelurahan atau bentuk birokrasi lain. Mereka
(para pengecer bensin) sebagian besar adalah pemilik warung kelontong kecil,
betapapun nilai yang dirasa kecil itu akan menjadi suatu kesimpulan absurd jika
hanya menilai kecilnya pungutan itu. Mereka juga perlu biaya transport dan
biaya pengurusan ditingkat kelurahan, mungkin juga RT setempat. Jelas itu
menjadi 'biaya tambahan' lain dalam mencari selembar surat rekomendasi
tersebut.
Pungutan-pungutan liar ini memang sudah seperti
menjadi budaya di Indonesia selain budaya korupsi yang akut tentunya, dari
level paling bawah sampai ke pusat selalu saja ada kasus seperti ini. Menindak tegas
selalu saja menjadi solusi, karena memang kepastian hukum di negeri ini masih
jauh dari kata tegas. Pemerintah Daerah juga harus sigap mengatur para anak
buahnya untuk selalu bertindak sesuai ketentuan dan tidak membuat aturan
sendiri sebagai alasan untuk urusan pribadi.
Jangan sampai itu menimbulkan stigma lain yang
dipandang oleh masyarakat kepada pemerintah, sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat
atas kinerja birokrasi.
indonseia ga terlepas dari korupsi..
BalasHapusdan penjilAt
iya le, udah kayak budaya memang
BalasHapus